Womanindonesia.co.id – Kalimantan Barat tengah bersiap menjadi pusat transformasi lingkungan melalui pendekatan kolaboratif yang memadukan teknologi modern, pendanaan hijau global, dan kearifan lokal. Melalui proyek “Aksi Adaptasi dan Mitigasi Berbasis Lahan melalui Pendekatan Yurisdiksi,” wilayah ini ditetapkan sebagai lokasi strategis untuk memperkuat ketahanan iklim dan pelestarian hutan berbasis lanskap dan komunitas.
Proyek yang dirancang untuk berjalan hingga tahun 2032 ini bukan sekadar inisiatif konservasi. Ia merupakan bentuk nyata dari kerja sama multisektor antara Pemerintah Indonesia, mitra internasional seperti Green Climate Fund (GCF) melalui GIZ, lembaga pengelola lingkungan seperti Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), serta organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat yang menjadi penjaga benteng terakhir hutan tropis Indonesia.
Kabupaten Kubu Raya, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Ketapang menjadi fokus wilayah proyek yang secara spesifik menargetkan pengurangan deforestasi, pemulihan lahan terdegradasi, hingga peningkatan daya tahan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Dengan menggunakan pendekatan yurisdiksi, proyek ini memperkuat keterlibatan pemangku kepentingan lokal dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya alam.
“Proyek ini menjadi contoh kolaborasi lintas pihak yang luar biasa, sekaligus bukti bahwa pelibatan masyarakat adat dan lokal bukan hanya penting, tetapi krusial untuk keberhasilan program berbasis lanskap,” ungkap Hemant Mandal dari Green Climate Fund untuk wilayah Asia dan Pasifik dalam keterangan persnya baru-baru ini.
Pelibatan masyarakat adat seperti Dewan Adat Dayak, Majelis Adat Melayu, dan AMAN Kalimantan Barat menjadi penanda penting dalam desain proyek. Pengetahuan tradisional tentang tata kelola hutan, pengelolaan air, serta sistem agroforestri yang diwariskan turun-temurun akan menjadi fondasi dari strategi adaptasi dan mitigasi yang dijalankan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial menegaskan bahwa percepatan akses legal masyarakat terhadap hutan, pendampingan, dan pengembangan usaha berbasis hutan akan menjadi prioritas, sejalan dengan pencapaian target perhutanan sosial nasional.
Sumber pembiayaan utama proyek ini berasal dari Green Climate Fund yang disalurkan melalui GIZ dan dikelola oleh BPDLH. Pendanaan ini diharapkan dapat menambal kekurangan pembiayaan dari APBN untuk sektor lingkungan, sekaligus menjadi pemicu agar daerah-daerah lain mengadopsi model serupa dalam penanganan perubahan iklim.
Direktur Utama BPDLH menegaskan bahwa pengelolaan dana dilakukan secara transparan dan inklusif, dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas sosial dan pelibatan komunitas dalam setiap tahapan implementasi.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon menyatakan bahwa proyek ini sejalan dengan kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di tingkat subnasional. Strategi ini tidak hanya fokus pada pelestarian hutan, tetapi juga menyasar dampak ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Kalimantan Barat sendiri telah memiliki green growth strategy dan kelembagaan REDD+ yang mapan. Artinya, provinsi ini berada pada posisi ideal untuk menjadi contoh pelaksanaan REDD+ secara utuh di Indonesia.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Menurutnya, pemanfaatan dana dari GCF harus dikawal ketat untuk memastikan dampaknya benar-benar menyentuh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
“Pembangunan seharusnya tidak merusak, tetapi justru memperkuat perlindungan hutan dan kehidupan masyarakat adat. Hutan bukan penghambat kemajuan, tapi sumber ekonomi berkelanjutan,” ujarnya.
Proyek ini menghadirkan harapan bahwa solusi perubahan iklim tidak hanya datang dari ruang perundingan internasional, tapi juga dari belantara Kalimantan yang dijaga oleh tangan-tangan masyarakat adat. Dengan pendanaan yang kuat, tata kelola yang inklusif, dan semangat kolaboratif, Kalimantan Barat berpotensi menjadi laboratorium hidup untuk model pembangunan rendah emisi yang adil, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat.
Dari Kalimantan, Indonesia menunjukkan bahwa aksi iklim bukan hanya wacana, melainkan komitmen nyata untuk menyelamatkan bumi dimulai dari akar rumput.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News