Womanindonesia.co.id – Perubahan besar tidak selalu dimulai dari ruang sidang atau laboratorium riset. Kadang, ia lahir dari panggung yang mempertemukan ide, aksi, dan harapan publik. Itulah semangat di balik “MOV-E: Moving Cities the Electric Way”, sebuah kegiatan penjangkauan publik yang digelar oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia bersama ViriyaENB dan ENVELOPS Co., Ltd. di ATMAterra Amphitheatre, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Lebih dari sekadar membahas kendaraan listrik, MOV-E menempatkan elektrifikasi sebagai gerakan sosial baru — tentang bagaimana masyarakat, pemerintah, dan industri dapat berkolaborasi menciptakan kota yang lebih bersih, sehat, dan layak huni.
“Transisi ke bus listrik bukan hanya soal mengganti teknologi, tapi membuka peluang bagi kota-kota di Indonesia untuk menghadirkan layanan transportasi publik yang lebih efisien, bersih, dan terjangkau,” ujar Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP Indonesia dikutip, Senin (3/11). “Langkah ini juga dapat menciptakan lapangan kerja hijau dan memperkuat rantai nilai industri transportasi bersih.”
Elektrifikasi Sebagai Perubahan Sosial, Bukan Sekadar Inovasi Teknis
Dalam konteks nasional, elektrifikasi transportasi publik menjadi langkah strategis menuju target penurunan emisi hingga 31,89% pada 2030 dan emisi nol bersih pada 2060. Namun, dengan adopsi kendaraan listrik yang masih di bawah 1% dari total kendaraan di Indonesia, transformasi ini tidak bisa hanya mengandalkan inovasi teknologi—melainkan perlu gerakan sosial yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap mobilitas.
Melalui MOV-E, ITDP dan ViriyaENB menghadirkan serangkaian sesi diskusi publik, pameran, serta instalasi interaktif yang mempertemukan pengguna, pelaku industri, akademisi, dan pembuat kebijakan. Dua sesi utama, yakni “Dua Roda, Nol Emisi: Jalan Panjang Motor Listrik Indonesia” dan “Bus Naik Kelas, Hidup Lebih Berkualitas”, mengupas sisi manusiawi dari transisi ini—tentang kebiasaan, persepsi, hingga daya beli masyarakat.
“Banyak orang tertarik dengan motor listrik, tapi masih ragu untuk benar-benar beralih,” ujar Alitt Susanto, kreator konten otomotif yang menjadi pembicara di salah satu sesi. “Masalah utamanya bukan sekadar harga atau teknologi, tapi rasa percaya diri terhadap kualitas produk dan ketersediaan infrastruktur. Kalau itu bisa dijawab, peralihan akan terjadi lebih cepat.”
Antara Infrastruktur dan Akses: Mencari Keseimbangan Baru
Studi ITDP (2025) menunjukkan bahwa biaya pengisian daya kendaraan listrik di Indonesia tergolong murah secara global. Namun, keterbatasan infrastruktur—baik Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) maupun fasilitas home charging—masih menjadi batu sandungan.
Bagi pengguna pribadi, prosedur menaikkan daya listrik rumah dan instalasi perangkat pengisian menjadi beban tersendiri. Di sisi lain, pembangunan SPKLU publik masih memerlukan insentif agar bisa berkembang cepat dan merata. Tanpa akses yang mudah, elektrifikasi berisiko hanya menjadi wacana kelas menengah ke atas.
Padahal, nilai ekonominya menjanjikan. ITDP mencatat bahwa investasi elektrifikasi transportasi publik bisa menghasilkan manfaat sosial dan lingkungan hingga 2,4 kali lipat dari nilai investasi awal—dari penghematan energi, penciptaan lapangan kerja, hingga peningkatan kualitas udara perkotaan.
Logistik Hijau: Urat Nadi Ekonomi Baru
Salah satu aspek menarik dari MOV-E adalah penekanannya pada sektor logistik. Elektrifikasi kendaraan pengiriman jarak dekat (last mile delivery) diproyeksikan menjadi katalis utama pertumbuhan ekonomi hijau. Menurut data Statista (2024), pasar logistik Indonesia diperkirakan meningkat 45,6% hingga 2030—menjadikannya ruang strategis bagi inovasi energi bersih.
“Logistik adalah urat nadi pergerakan barang di kota. Saat sektor ini ikut bertransisi ke energi bersih, kita tidak hanya menurunkan emisi, tapi juga membuka peluang kerja hijau dan menggerakkan ekonomi lokal,” ungkap Suzanty Sitorus, Direktur Eksekutif ViriyaENB.
Sejalan dengan itu, Albert Aulia Ilyas, Direktur Utama KALISTA, melihat peluang kolaborasi antara dunia usaha dan pemerintah kota. “Bagi kami, transisi EV bukan sekadar investasi, tapi momentum untuk membangun kepercayaan dan solusi jangka panjang. KALISTA hadir dengan layanan komprehensif dari penyediaan unit hingga integrasi sistem berbasis IoT agar transisi ini efisien dan terukur,” ujarnya.
Menuju Mobilitas yang Manusiawi
Pada akhirnya, MOV-E menjadi cermin bahwa keberhasilan transisi kendaraan listrik tidak hanya diukur dari berapa banyak unit yang meluncur di jalan, tapi dari sejauh mana masyarakat merasa dilibatkan dan diuntungkan.
“Transisi menuju kendaraan listrik adalah perubahan sistemik—menyangkut teknologi, perilaku, dan kebijakan. MOV-E menjadi ruang agar publik tidak hanya tahu, tapi juga merasa menjadi bagian dari perubahan itu,” tutur Gonggom.
Dengan semangat kolaborasi lintas sektor, MOV-E mengajak masyarakat menjadikan mobilitas listrik bukan sekadar simbol kemajuan teknologi, melainkan misi bersama untuk menciptakan kota yang lebih bersih, inklusif, dan ramah generasi masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News








