Womanindonesia.co.id – Dalam momentum Hari Anak Nasional (HAN) 2025, Diena Haryana, Psikolog Anak dan Remaja dari Sejiwa, menegaskan bahwa kesejahteraan anak-anak Indonesia tak hanya bergantung pada perhatian di dunia nyata, tetapi juga pada bagaimana mereka dibimbing dalam menjelajahi dunia digital.
“Hari Anak Nasional mengingatkan kita semua bahwa kesejahteraan anak-anak ada di tangan kita sebagai orang dewasa yang mendukung tumbuh kembang mereka,” ujar Diena saat School Roadshow”Seru Berkreasi dan #SalingJaga” yang diselenggarakan TikTok berkerjasama dengan Sejiwa Foundation di SMA Negeri 48 Jakarta, Kamis (23/7).
“Tumbuh kembang ini harus seimbang di dunia nyata dan dunia digital, karena keduanya tidak bisa dipisahkan,” tambah Diena.
Namun, ia menyayangkan bahwa banyak orang tua sering kali lupa bahwa anak-anak tetap perlu tumbuh tangguh. Demi membahagiakan anak, pengawasan terhadap penggunaan teknologi sering kali diabaikan. Padahal, menurut Diena, anak-anak memiliki hak untuk dilindungi dan berkembang secara sehat di ruang digital.
Untuk membantu masyarakat memahami pentingnya keseimbangan tersebut, Sejiwa merumuskan pendekatan praktis bernama Resep 3S: Screen Time, Screen Break, dan Screen Zone.
Resep 3S: Panduan Aman Anak di Dunia Digital
- Screen Time adalah waktu penggunaan layar yang harus dibatasi. “Otak anak berkembang hingga usia 25 tahun. Selama itu, mereka butuh banyak stimulasi dari aktivitas dunia nyata seperti bermain, berinteraksi, dan bergerak agar perkembangan otaknya optimal,” terang Diena.
- Screen Break mengajarkan pentingnya jeda dari layar. “Idealnya, setiap 30 menit screen time, anak harus melakukan aktivitas nyata. Ini penting, termasuk juga bagi orang dewasa.”
- Screen Zone adalah area bebas gadget yang wajib diterapkan di rumah. Diena menekankan bahwa ada tiga zona yang sebaiknya steril dari gawai: ruang tidur, ruang makan, dan kamar mandi. “Di ruang-ruang ini, anak-anak harus dilindungi dari paparan berlebihan. Misalnya, kasus sextortion (pemerasan seksual berbasis digital) sering bermula dari konten yang diambil di kamar mandi,” kata Diena.
Anak Butuh Literasi Digital Sejak Dini
Diena menyebut bahwa keterampilan digital memang penting. Namun, harus dibarengi dengan literasi digital yang sehat, mulai dari kemampuan teknis, kesadaran etika, hingga menciptakan budaya digital yang positif.
“Jika empat aspek tumbuh kembang anak – fisik, sosial, spiritual, dan kognitif berkembang seimbang, maka dunia digital akan jadi ruang yang aman,” ujarnya.
Ia juga mengapresiasi langkah platform seperti TikTok yang memberi batasan usia dan kontrol orang tua. “Saya senang karena TikTok punya sistem keamanan yang cukup baik. Misalnya, hanya pengguna berusia 14 tahun ke atas yang boleh membuat akun, dan anak-anak hanya boleh menggunakan TikTok maksimal satu jam sehari,” tuturnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa anak tidak boleh dibiarkan mengelola media sosialnya sendiri. “Anak harus didampingi. Baik oleh orang tua di rumah, maupun guru di sekolah. Pendampingan ini penting agar konten yang dikonsumsi dan dibuat sesuai dengan tahap perkembangan anak,” tegasnya.
Waspada Konten Tak Pantas dan Kecanduan Digital
Diena juga mengingatkan tentang risiko kecanduan digital. Jika anak sudah mulai menunjukkan gejala adiksi seperti tidak bisa lepas dari gawai, segera cari bantuan profesional. Anak-anak lebih cepat pulih dibanding orang dewasa.
Ia menyarankan agar orang tua berkonsultasi ke Divisi Psikiatri RSCM, terutama ke dr. Christian Asiste yang merupakan mitra Sejiwa dan ahli dalam adiksi perilaku digital.
“Masalahnya bukan sekadar angka. Satu kasus sextortion saja sudah terlalu banyak. Kita perlu mengajarkan anak-anak bagaimana melindungi diri mereka di dunia digital,” tegas Diena.
Orang Tua Harus Hadir dan Mau Belajar
Lebih lanjut, Diena menyoroti bahwa literasi digital bukan hanya tugas anak, tapi juga orang tua. Ia mencontohkan fitur Family Pairing yang memungkinkan orang tua memantau dan mengatur akun anak.
“Banyak orang tua menyerahkan gadget ke anak tanpa tahu apa yang mereka akses. Padahal, ini ibarat melepaskan anak ke jalan raya tanpa pengawasan. Dunia digital sama nyatanya dengan dunia fisik. Orang tua harus hadir dan mau belajar,” imbuhnya.
Ia menutup dengan pesan penting, “Anak-anak punya dunia mereka sendiri. Dunia bermain, dunia bersosialisasi, dunia bereksplorasi. Tugas kita adalah memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News