Womanindonesia.co.id – Dalam menghadapi beban tuberkulosis (TB) yang masih tinggi, terutama pada anak-anak, transformasi layanan primer tidak cukup hanya mengandalkan pengobatan. Edukasi keluarga, penguatan gizi, serta pemantauan pertumbuhan anak menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya penanggulangan TB di lini pertama layanan kesehatan.
Isu ini mencuat dalam pembukaan Semiloka Nasional ke-5 yang diselenggarakan Akselerasi Puskesmas Indonesia (APKESMI) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Forum ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa Puskesmas bukan hanya pintu masuk layanan medis, tetapi juga ruang edukasi masyarakat dan garda terdepan dalam memastikan tumbuh kembang anak tidak terhambat oleh penyakit menular seperti TB.
Wakil Wali Kota Balikpapan, Dr. Bagus Susetyo, mewakili Gubernur Kalimantan Timur dalam sambutan pembukaan, menyoroti perlunya sistem terintegrasi di layanan primer. Menurutnya, Puskesmas harus mampu menyatukan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara serempak dan terarah.
“Program Quick Win Presiden yang meliputi skrining, pendataan warga sehat, hingga pemenuhan tenaga dan sarana prasarana Puskesmas menjadi langkah konkret. Namun untuk benar-benar berdampak, Puskesmas harus aktif hadir dalam membentuk kesadaran dan perubahan perilaku, termasuk pada isu gizi dan penyakit menular seperti TB pada anak,” ujar Bagus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/7).
Data dari Global TB Report 2024 menunjukkan Indonesia masih menempati peringkat kedua tertinggi dunia dalam jumlah kasus TB, termasuk 135 ribu kasus terjadi pada anak usia 0–14 tahun. Angka ini menjadi peringatan bahwa pendekatan konvensional harus dirombak total.
Ketua Umum APKESMI, Kusnadi, SKM., M.Kes, menjelaskan bahwa masih banyak tantangan di lapangan, terutama rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan TB dan konsistensi dalam menjalani pengobatan. Karena itu, ia mendorong peran aktif Puskesmas dalam edukasi masyarakat dan pendampingan pasien.
“Anak dengan TB harus ditangani secara holistik. Tidak hanya dari sisi pengobatan, tetapi juga edukasi keluarga dan pemberian intervensi gizi yang sesuai agar mereka punya peluang tumbuh sehat dan optimal,” kata Kusnadi.
Ia menambahkan bahwa saat ini Puskesmas sudah memiliki alat Tes Cepat Molekuler (TCM) untuk deteksi TB dan didukung sistem distribusi pengobatan yang lebih baik. Namun, strategi penanggulangan belum akan efektif tanpa melibatkan orang tua dan keluarga dalam proses penyembuhan anak.
Nutrisi, Faktor Penentu dalam Pemulihan TB Anak
Dokter Spesialis Anak, dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K), yang hadir sebagai pembicara dalam sesi tematik, menekankan bahwa TB tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga mengganggu asupan dan penyerapan gizi anak. Malnutrisi menjadi salah satu komplikasi utama yang memperburuk kondisi pasien anak dan memperpanjang waktu pemulihan.
“Anak dengan TB, terutama yang mengalami malnutrisi, membutuhkan asupan gizi seimbang, kaya energi, dan tinggi protein. Ini untuk memperkuat imunitas, mempercepat pemulihan jaringan tubuh, dan mendukung pertumbuhan,” jelas dr. Titis.
Jika anak mengalami nafsu makan sangat rendah atau berat badan tidak kunjung naik, ia menyarankan agar segera dikonsultasikan ke dokter spesialis anak untuk evaluasi penyebab dan kemungkinan penyakit penyerta. Dalam beberapa kasus, pemberian pangan olahan kebutuhan medis khusus (PKMK) dengan kalori tinggi dan nutrisi lengkap bisa menjadi alternatif sementara untuk memenuhi kebutuhan harian anak.
“Intervensi gizi yang tepat bisa membuat perbedaan besar. Orang tua dan tenaga kesehatan harus bekerja sama untuk memastikan asupan harian anak terpenuhi dan pemantauan pertumbuhan dilakukan secara rutin,” tambahnya.
Puskesmas sebagai Agen Perubahan Menuju Generasi Emas
Dengan tema besar Hari Anak Nasional 2025 “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, isu TB anak menjadi pengingat bahwa kualitas masa depan bangsa bergantung pada keberhasilan sistem kesehatan primer hari ini.
Puskesmas, sebagai ujung tombak layanan publik, tak bisa lagi hanya melayani pasien saat sakit. Transformasi layanan primer menuntut mereka hadir sebagai agen perubahan yang mendorong edukasi, intervensi gizi, dan pembentukan komunitas pendukung seperti kelompok penyintas TB anak.
“Peran Puskesmas kini bukan sekadar tempat berobat, tetapi juga pusat penguatan literasi kesehatan masyarakat. Inilah yang menjadi semangat Semiloka APKESMI ke-5: mendorong model layanan primer yang menyeluruh dan inklusif,” tutup Kusnadi.
Dengan kolaborasi multisektor, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat, upaya eliminasi TB anak dan pencegahan stunting dapat berjalan beriringan. Menuju 2030 bebas TBC dan 2045 generasi emas, Puskesmas memegang peranan sentral sebagai penjaga masa depan anak Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News