Womanindonesia.co.id – Impian akan kota yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan kini semakin mengemuka. Namun, perjalanan menuju kota inklusif tidak bisa dilepaskan dari peran penting transportasi berkelanjutan yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.
Transportasi bukan sekadar memindahkan orang dari satu titik ke titik lain, melainkan alat untuk menjamin hak dasar manusia: udara bersih, akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga peluang ekonomi.
Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan tantangan besar bagi perempuan dan anak saat bermobilitas: risiko pelecehan, biaya tinggi akibat ketergantungan moda ganda, hingga ancaman kesehatan seperti ISPA dan kanker paru.
Pendekatan Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (MKLL) dinilai menjadi jawaban untuk menciptakan kota yang lebih ramah dan sehat, dengan mengurangi dominasi kendaraan bermotor pribadi. Namun, transformasi ini hanya akan berhasil jika suara perempuan dan anak ikut didengar dan diakomodasi dalam setiap tahap perencanaan.
Studi ITDP (2018) menemukan bahwa perempuan dan anak di Jakarta lebih sering mengandalkan moda transportasi aktif seperti berjalan kaki, bersepeda, dan transportasi umum. Sensitivitas mereka terhadap keandalan layanan dan ketepatan waktu (ITDP, 2021) juga menandakan kebutuhan mendesak akan transportasi publik yang lebih aman, nyaman, dan terpercaya.
Di Jakarta, beberapa upaya nyata sudah mulai menunjukkan dampak positif. Elektrifikasi armada Transjakarta, misalnya, tidak hanya mengurangi polusi di lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah hingga 32%, tetapi juga memperbesar akses mereka ke fasilitas publik sebesar 45%. Selain itu, program TJ Academy membuka jalan bagi perempuan untuk berkarier di sektor transportasi dengan pendapatan yang lebih layak.
Mayangsari, Direktur Keuangan, SDM, dan Umum Transjakarta, menyampaikan apresiasinya terhadap kontribusi pengguna transportasi publik.
“Terima kasih kepada pengguna transportasi publik yang telah berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca, apalagi dengan bertambahnya E-bus. TJ berkomitmen untuk terus mengakomodir prinsip GEDSI, termasuk untuk teman disabilitas,” katanya di Jakarta, Sabtu (26/4).
Meningkatkan inklusivitas transportasi juga berarti memperhatikan keberagaman kebutuhan masyarakat. Seperti yang disampaikan Annisa Rahmania, anggota komunitas Silang.id, “Disabilitas tidak hanya bawaan lahir, bisa juga terjadi akibat kecelakaan. Setiap disabilitas punya kebutuhan yang berbeda. Harapannya, semua pihak masyarakat, pemerintah, pengelola bisa berbenah dan berkolaborasi untuk mewujudkan layanan yang benar-benar inklusif.”
Berbagai komunitas dan inisiator perubahan juga mendorong upaya lebih luas. Puty Puar, Founder buibubijak.id, menekankan pentingnya kolaborasi antar-stakeholder. “Kita tidak bisa jalan sendiri. Semoga kolaborasi dan komitmen terus terbangun, agar transportasi publik semakin bisa dimanfaatkan dan dicintai masyarakat,” ucapnya.
Tak hanya itu, urbanisme taktis menjadi salah satu pendekatan kreatif untuk membangun kota yang lebih ramah bagi pejalan kaki. Melania mengajak semua pihak untuk berkontribusi, “Ayo sama-sama meningkatkan infrastruktur pejalan kaki untuk mendukung transportasi umum. Kita perlu mendengar semua pengguna, bahkan anak-anak.”
Semangat kolaborasi juga disuarakan Deliani. “Kita semua berhak atas udara bersih dan transportasi publik yang terjangkau. Ayo bergerak, berkolaborasi, memperkuat jaringan, dan mendorong program-program baik untuk kota yang lebih adil dan sehat,” ujarnya.
Ke depan, ITDP merekomendasikan agar evaluasi dampak kebijakan transportasi selalu mengarusutamakan perspektif kelompok rentan, serta mendorong pelibatan aktif perempuan dan anak dalam setiap pengambilan keputusan kota.
Karena hanya dengan pendekatan yang berkeadilan, ramah lingkungan, dan partisipatif, kota yang aman, nyaman, dan inklusif untuk semua benar-benar bisa terwujud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News