Womanindonesia.co.id – Peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan, pendidikan, ekonomi dan politik di Indonesia sudah dimulai sejak lama. Pembuktian ini dapat kita nkmati hasilnya.
Seperti halnya pahlawan perempuan Indonesia yang sudah sangat kita kenal seperti, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi sartika, Nyi Ageng Serang, Opu Daeng Risadju dari Palopo, Rasuna Said dan masih banyak lagi para perempuan Indonesia terdahulu yang memiliki keberanian luar biasa.
Dan kali ini kita akan mengenalkan perempuan hebat dibalik tercetusnya peringatan Hari Ibu Nasonal yang diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Perjalanan dan Proses Pencetusan Hari Ibu 22 Desember
Berdasarkan informasi dari situs Kementerian PPA, Hari Ibu dicetuskan melalui keputusan Kongres Perempoean Indonesia III di Bandung pada 22 Desember 1938. Tujuan dari peringatan Hari Ibu di Indonesia adalah mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
Sementara informasi yang dilansir dari kompas.com, Harian Kompas, 22 Desember 1977, pada 16 Desember 1959, Hari Ibu ditetapkan sebagai Hari Nasional. Keputusan ini sesuai dengan keputusan yang dikeluarkannya Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.
Dalam Kongres Perempuan 1928, ada sejumlah organisasi dan tokoh penting yang berkontribusi. Adapun organisasi-organisasi itu adalah Wanita Oetomo, Aisyah, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Moeljo, dan bagian perempuan dalam Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, serta Wanita Taman Siswa.
Sedangkan beberapa tokoh penting dalam Kongres Perempuan I ini di antaranya adalah Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa), Ny. Soekonto (Wanita Oetomo) dan Sujatin Kartowijono (Poetri Indonesia).
Profil 3 Tokoh Perempuan Dalam Kongres Perempuan I Indonesia 22 Desember 1928
1. Nyi Hajar Dewantara
Nyi Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh yang berperan dalam Kongres Perempuan I. Pada kongres tersebut, ia mewakili organisasi Wanita Taman Siswa.
Nyi Hajar Dewantara juga merup pendiri Taman Siswa dan pemimpin perguruan Taman Siswa sampai akhir hayatnya. Sebagai istri Ki Hajar Dewantara atau Suwardi Suryaningrat ia penah mengalami pasang surut perjuangan, baik di dalam bidang politik maupun bidang pendidikan.
Ia pun ikut mendampingi Ki Hajar Dewantara dalam pembuangan ke negeri Belanda sejak 13 September 1913 – 26 Juli 1919. Ia tak pernah absen dalam tiap perjuangan Ki Hajar kecuali dalam hal yang khusus.
Melansir jogjaprov.go.id, Nyi Hajar Dewantara dilahirkan pada Selasa, 14 September 1890, bertepatan dengan 1 Sapar Tahun Ehe 1820 di Yogyakarta. Dia lahir sebagai putri keenam dari Kanjeng Pangerah Haryo (KPH) Sosroningrat dengan nama Raden Ajeng Sutartinah. Ibunya bernama R.A.Y. Mutmainah yang telah bersuami disebut B.R.A.Y. Sosroningrat. K.P.H Sosroningrat adalah putra K.P.A.A Pakualam III, sedang R.A.Y. Mutmainah adalah putri K.R.T. Mertonegoro II.
R.A. Sutartinah menamatkan Europease Lagere School (ELS) pada tahun 1904. Lalu, melanjutkan ke sekolah guru. Dia kemudian menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan Priyo Gondoatmodjo. Setelah 3 tahun bekerja sebagai guru, pada 4 November 1907 R.A. Sutartinah dipertunangkan dengan R.M. Suwardi Suryaningrat putra K.P.H. Suryaningrat.
K.P.H. Suryaningrat adalah saudara K.P.H. Sosroningrat dan putera K.P.A.A. Pakualam III. Perkawinannya dengan Suwardi Suryaningrat membawa Sutartinah mengenal dunia jurnalistik dan politik, yang selalu menjalankan konfrontasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Hal itu terbawa secara psycho genealogis karena dalam keluarga Sosroningrat dan Suryaningrat telah tertanam jiwa pemberontak terhadap kolonial Belanda.
Di samping itu mereka adalah keturunan Nyi Ageng Serang dan Pangeran Diponegoro. Sehubungan dengan itu. R.A. Sutartinah dan Suwardi beserta saudara-saudaranya pernah dilarang bersekolah di sekolah pemerintah oleh Residen Yogyakarta.
2. Siti Soekaptinah atau Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Siti Soekaptinah juga menjadi tokoh penting dalam Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Saat kongres tersebut, ia tergabung dalam Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, ketika masih berusia 21 tahun. Siti Soekaptinah pernah menjadi anggota Gementeraad (Dewan Kotapraja) pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bersama Emma Puradireja, Sri Oemijati, dan Ny. Soedirman.
Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai anggota DPR Pusat hasil Pemilu I dan menjadi anggota Konstituante. Setelah pensiun pada tahun 1961, Siti Koestinah memutuskan untuk tidak terlalu aktif dalam organisasi. Ia pun mulai berkarya di dunia batik. Saat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, batik buatannya sudah mulai diproduksi, yaitu batik yang ia namai dengan “Batik Indonesia.”
3. Ny. Sujatin Kartowirjono
Ny. Sujatin Kartowirjono merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam pertemuan yang dikenal sebagai Kongres Perempuan I tahun 1928. Melansir Harian Kompas, 22 Desember 1977, saat Kongres Perempuan pertama dilakukan, ia masih berusia 21 tahun dan berprofesi sebagai seorang guru muda.
Saat itu, Sujatin belum menikah. Ia merupakan Ketua Poetri Indonesia, yaitu sebuah organisasi wanita-wanita muda, terutama guru-guru. Selain itu, Ny. Sujatin juga menjadi pengurus Wanita Oetomo. Hingga lanjut usia, Ny. Sujatin tetap aktif dalam dunia pergerakan wanita.
Ia pernah menjadi Ketua dalam sejumlah organisasi seperti KOWANI dan PERWARI. Ny. Sujatin juga menjadi Pengurus Besar Persatuan Werdhatama Republik Indonesia. Atas jasa-jasanya, ia telah memperoleh sejumlah penghargaan, di antaranya adalah Satya Lencana Kebaktian Sosial tahun 1961 dan Satya Lencana Pembangunan di tahun 1968. Selain itu, ia juga menulis sebuah buku yang berjudul “Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News