WomanIndonesia.co.id – Berdasarkan survei online yang dilakukan oleh GueSehat selama sepekan terhadap 824 ibu di seluruh Indonesia, sekitar 77,4% ibu lebih memilih untuk berkonsultasi mengenai kehamilan dan persalinan kepada dokter kandungan dibanding bidan.
Lantas, apakah hal ini menunjukkan bahwa peran bidan di era sekarang telah tergantikan oleh dokter kandungan?
Sebanyak 18,8% perempuan belum mengetahui perbedaan kompetensi bidan dan dokter kandungan
Kehamilan dan persalinan tentu menjadi fase yang akan dilewati oleh hampir semua perempuan. Dalam prosesnya, tak jarang para calon ibu ini dihadapkan pada keputusan demi keputusan, salah satunya memilih jasa antara dokter kandungan atau bidan.
Keputusan untuk memilih menggunakan jasa dokter kandungan atau bidan memang tidak mudah, terlebih bagi para calon ibu yang baru pertama kali menjalani proses kehamilan.
Ketidaktahuan akan kompetensi di antara kedua petugas layanan ini menjadi salah satu penyebab yang membuat beberapa Mums sulit menentukannya.
Terhitung sebanyak 155 ibu atau sekitar 18,8% dari jumlah responden yang ikut serta dalam survei mengaku bahwa dirinya belum mengetahui perbedaan kompetensi seorang bidan dan dokter kandungan.
“Perlu tahu dulu nih kalau sebenarnya tenaga kesehatan di bidang kebidanan itu sebenarnya dibagi tiga, yaitu bidan, dokter umum, kemudian spesialis. Ketiganya punya peran masing-masing, Jadi, tidak saling menggantikan,” jelas dr. Ulul Albab, Sp.OG sekretaris Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (POGI) Cabang Jakarta (20/6).
Bidan merupakan ‘ujung tombak’ pertama. Bidan bertanggung jawab untuk permasalahan kebidanan yang bersifat normal, dengan batasan-batasan yang sesuai dengan kompetensinya. Artinya, ketika ditemukan permasalahan selama kehamilan, maka perlu berkonsultasi dengan dokter kandungan.
Latar Belakang Pendidikan Bidan dan Dokter Kandungan
Seperti dikatakan sebelumnya, masing-masing tenaga kesehatan di bidan kebidanan memiliki perannya masing-masing tanpa saling menggantikan satu sama lain.
Menurut Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Dr. Emi Nurjasmi, M. Kes, seorang bidan memiliki fokus dalam melakukan edukasi, pemeriksaan, serta pertolongan persalinan pada kasus-kasus yang normal.
“Jadi, begitu kita menemukan kasus-kasus yang tidak normal, berisiko, bersifat patologi, atau komplikasi, maka kita harus berkolaborasi dengan dokter. Kita merujuk ke dokter kandungan,” jelas Emi.
Fokus yang berbeda antara bidan dan dokter kandungan ini salah satunya didasari oleh jenjang pendidikan yang ditempuh keduanya. Seorang bidan memulai pendidikannya di sekolah keperawatan.
Sementara sekolah kebidanan memiliki fokus yang cukup spesifik, yakni pada perawatan ibu hamil. Sekolah kebidanan juga berdedikasi terhadap profesi bidan dan perawatan prenatal.
Seorang bidan dapat menjalankan praktiknya secara mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan praktik mandiri, seorang bidan haruslah memiliki izin, yaitu Surat Izin Praktik Bidan (SIPB).
Sedangkan bagi bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan, perlu memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB).
Di lain sisi, untuk menjadi dokter spesialis, seseorang harus sekolah kurang lebih selama 11 tahun. Empat tahun masa kuliah, 4 tahun sekolah kedokteran atau profesi, kemudian 3 tahun untuk masa magang dan penempatan. Setelah lulus, barulah dokter mendapatkan izin untuk melakukan praktik.
Meski begitu, perlu diingat pula bahwa spesialis dokter kandungan itu bukan hanya mempelajari persoalan kandungan dan kehamilan saja. Menurut dr. Ulul, dokter kandungan juga mempelajari ilmu kebidanan serta kandungan.
Jadi, ilmu kebidanan untuk proses obstetrinya, artinya proses kehamilan dan sebagainya. Kemudian ilmu kandungan atau ginekologinya, untuk yang berkaitan dengan sistem reproduksi atau di luar kehamilan.
“Para bidan fokusnya tentu di ilmu kebidanan. Mereka juga dibekali dengan ilmu-ilmu kandungan, hanya saja bersifat dasar,” tambah dr. Ulul.
Ruang Lingkup Profesi Bidan dan Dokter Kandungan
Selain latar belakang pendidikan, ruang lingkup profesi seorang bidan dan dokter kandungan juga memiliki perbedaan.
Seorang bidan memiliki tanggung jawab sepenuhnya dalam memberikan edukasi atau penyuluhan, baik saat mempersiapkan kehamilan dan persalinan, hingga menjaga kesehatan reproduksi. Jadi, bukan hanya sebatas kepada ibu hamil saja, melainkan juga kepada remaja-remaja wanita.
“Sebelum kehamilan, bidan membantu memberikan pengetahuan atau konseling supaya mempersiapkan diri sebelum hamil dan juga menjaga kesehatan sistem reproduksi, misalnya ketika wanita itu haid. Saat hamil, bidan dapat memberi edukasi bagaimana gizi dan pola hidup yang baik, serta pemeriksaan kehamilan. Selanjutnya, setelah persalinan, bidan bisa membantu memantau ibu menyusui, bayi, dan balita,” jelas Emi.
Secara khusus, wewenang seorang bidan ini telah dijelaskan dalam Undang-undang Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Mengacu pada Pasal 62 ayat 1 UU Tenaga Kesehatan, sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktiknya harus sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa ruang lingkup dan kompetensi yang dimaksud tersebut meliputi pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, serta keluarga berencana (KB).
Kendati demikian, seorang bidan memiliki batasan kewenangan dalam meresepkan suatu obat kepada pasiennya. Pemberian resep obat hanya dapat dilakukan oleh seorang dokter spesialis. Kalaupun bidan ingin meresepkan obat, perlu berkonsultasi terlebih dulu atau berdasar rujukan dokter spesialis.
“Saat pemeriksaan, bidan juga hanya bertanggung jawab untuk melakukan observasi normal. Bidan tidak diperbolehkan melakukan tindakan pemeriksaan USG. Jadi, hanya sebatas pemeriksaan skrining boleh,” ujar dr. Ulul.
Menurut dr. Ulul, kalaupun seorang bidan ada yang melakukan pemeriksaan USG, bidan tidak bisa bertindak sebagai seorang expertise atau menyimpulkan hasilnya. Jadi, kalau memang seorang wanita ingin melakukan pemeriksaan USG dasar, maka sebaiknya ke dokter umum atau dokter spesialis.
Meski Ruang Lingkup Berbeda, Bidan dan Dokter Kandungan adalah Tim
Terlepas dari latar belakang pendidikan serta ruang lingkup profesi yang berbeda, bidan dan dokter kandungan sebenarnya bekerja sama layaknya sebuah tim. Baik bidan maupun dokter kandungan, keduanya tak saling menggantikan.
“Kami (bidan) tidak merasa tergantikan dengan keberadaan dokter kandungan. Kami justru bekerja bersama sebagai sebuah tim. Bahkan, di Indonesia ini jumlah wanita yang berkonsultasi dengan bidan terbilang masih banyak, sekitar 83%,” jelas Emi.
Ya, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 83% ibu hamil masih memilih untuk memeriksakan diri ke bidan. Dalam survei yang dilakukan oleh GueSehat pun, sebanyak 186 Mums atau sekitar 22,6% masih memilih untuk berkonsultasi perihal kehamilan dan persalinan dengan bidan.
Pada masa kehamilan, bidan akan memberikan rujukan ketika ditemukan masalah ke dokter kandungan. Tak hanya berhenti di situ, selama proses persalinan pun bidan juga bekerja membantu dokter kandungan.
Dokter Ulul menjelaskan bahwa persalinan merupakan sebuah proses yang panjang. Dalam proses ini, biasanya akan dibentuk sebuah tim yang terdiri dari dokter umum, bidan, dan juga dokter spesialis kandungan.
Selain itu, ada pula dokter penanggung jawab yang juga merupakan dokter spesialis dan bertugas melaporkan proses persalinan kepada dokter kandungan.
“Dokter kandungan ini kan tidak selalu standby, ya. Nah, terkadang namanya jalanan kota itu unpredictable. Bisa jadi ketika bukaan sudah lengkap, dokter kandungan tidak sempat mengejar proses persalinan tersebut. Jadi, ya ketika persalinan bisa dilakukan dengan normal, maka bidan lah yang menangani,” jelas dr. Ulul.
Akan tetapi, jika dalam proses persalinan ditemui masalah yang membuat seorang wanita tidak memungkinkan melahirkan secara normal, maka keputusan selanjutnya akan ditentukan dan ditangani oleh dokter kandungan.
Untuk saat ini, jumlah bidan di Indonesia sendiri bisa dikatakan cukup banyak. IBI mencatat setidaknya ada sekitar 325.000 bidan yang tersebar hingga ke daerah-daerah di tingkat kecamatan dan desa.
Jumlah ini tentu sangat berbeda jauh dengan jumlah dokter yang ada di seluruh Indonesia. Sekarang, ujar dr. Ulul, dokter kandungan yang ada hanya sekitar 4.036 dengan pemerataan yang belum maksimal.
“Masalahnya sebenarnya bukan dari jumlah dokternya, tetapi lebih ke pemerataannya. Untuk saat ini, memang dokter kandungan masih terfokus di kota-kota besar,” tambah dr. Ulul.
Keterbatasan akses ke dokter kandungan inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor bagi beberapa wanita, termasuk 55 responden survei GueSehat, untuk lebih memilih berkonsultasi kepada bidan.
Tak hanya itu, perkiraan biaya yang lebih terjangkau dan dukungan untuk menempuh persalinan normal juga menjadi 2 hal yang membuat layanan kesehatan bidan lebih dipilih oleh para wanita.
Dapat disadari bahwa di tengah perkembangan zaman, ketika para wanita dianggap lebih percaya berkonsultasi dengan dokter kandungan, nyatanya peran bidan tetap tidak tergantikan. Hal ini juga telah dirasakan oleh sekitar 524 atau 64,3% responden survei.
Memiliki kompetensi dan ruang lingkup yang berbeda tak lantas membuat bidan ataupun dokter kandungan saling menggantikan satu sama lain.
Sebaliknya, bidan dan dokter kandungan bekerja saling mendukung layaknya sebuah tim demi kesehatan para wanita Indonesia sejak awal kehidupan, masa reproduksi, kehamilan, persalinan, hingga menopause.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News