Womanindonesia.co.id – Buku Selangkah di Belakang Mbak Tutut bukan hanya potret perjalanan hidup Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, atau Mbak Tutut, tetapi juga menjadi cermin nilai-nilai ketulusan, pengabdian, dan etika yang melintasi generasi. Dirilis di Jakarta Selatan, buku ini menghadirkan kisah dari orang-orang yang “selangkah di belakang” Mbak Tutut, baik di bidang bisnis, sosial, politik, seni, maupun keluarga.
Disusun melalui kontribusi tokoh nasional, rekan kerja, sahabat, dan keluarga, buku ini menyajikan narasi yang jarang terdengar dalam literatur sejarah Indonesia. “Buku ini dapat menjadi teman dalam melihat berbagai dinamika kemajuan dan persoalan saat ini,” ujar Effendi Gazali di Jakarta, Jumat (15/8).

Potret multidimensi Mbak Tutut tergambar jelas dari keberhasilannya memimpin pembangunan jalan layang tol pertama di Indonesia dengan teknologi Sosrobahu, memenangkan tender internasional Metro Manila Skyway di Filipina, hingga membangun jalan tol Ayer Hitam – Yong Peng Timur di Malaysia. Semua dicapai dengan upaya mandiri, tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Anthony Budiawan menegaskan, “keteguhan beliau dalam menjaga etika keluarga sekaligus melayani masyarakat adalah teladan di tengah persoalan zaman ini”.
Selain infrastruktur, kiprahnya di bidang kemanusiaan terlihat dari keterlibatan langsung di lokasi bencana, kepemimpinan di Persatuan Donor Darah Indonesia dan Palang Merah Indonesia, hingga tiga periode sebagai Presiden FIODS. Melalui Kirab Remaja, ia menanamkan nilai Pancasila, kedisiplinan, kemanusiaan, dan persatuan kepada generasi muda.
“Buku ini bukan sekadar dokumentasi, tetapi sebuah ajakan untuk kembali pada nilai: ketulusan dalam bekerja, kesetiaan dalam keluarga, dan keberanian untuk mengabdi. Dari keluarga ke bangsa, dari bisnis ke sosial, itulah warisan yang Mbak Tutut sampaikan,” ujar Prof. Tria S.P. Ismail Saleh, penanggung jawab buku.
Peluncuran buku ini juga diwarnai konferensi pers yang memaparkan proses kreatif di balik penulisannya. Donna Sita Indria, penulis sekaligus editor, menceritakan bahwa prosesnya berlangsung selama tujuh tahun, terhenti dua tahun akibat pandemi COVID-19.
“Saya bersama beliau sekitar 35 tahun. Karena Mbak Tutut menerbitkan tabloid Wanita Indonesia dan saya pemimpin redaksinya, saya menyimpan banyak dokumentasi tentang berbagai kegiatan beliau – baik sosial, bisnis, politik, nasional, maupun internasional. Foto-foto ini sebagian baru pertama kali dimunculkan di buku ini,” ujarnya.
Menariknya, Donna mengaku tidak ada tantangan berarti selama proses penulisan. “Narasumbernya cukup banyak, mulai dari teman-teman dekat yang mendampingi Mbak Tutut. Mereka menceritakan pengalaman menyenangkan meski tugasnya berat. Mbak Tutut itu orangnya ringan hati dan ceria,” tambahnya.
Judul Selangkah di Belakang Mbak Tutut dipilih karena seluruh kisah datang dari mereka yang selalu berada sangat dekat dengan beliau dalam berbagai kegiatan.
Dari perspektif keluarga, Danty Indriastuti Purnamasari Rukmana, putri Mbak Tutut, menggambarkan ibunya sebagai sosok yang kembali menjadi ibu rumah tangga ketika berada di rumah. “Meski beliau seorang politisi, budayawan, dan tokoh publik, saat di rumah beliau kembali menjadi ibu kami,” ujarnya.
Salah satu kenangan yang berkesan adalah kebiasaan ibunya membangunkan anak-anak pukul 5 pagi untuk belajar menjelang ujian. “Beliau juga suka memasak, terutama resep turun-temurun dari nenek. Sambal buatan beliau sama persis rasanya seperti buatan nenek,” kenangnya.

Peluncuran buku ini juga disertai konser musik mini orkestra yang dipandu Arastio Gutomo, Koordinator Panggung Musik. “Malam ini akan dibawakan 19 lagu karya beliau dari hampir 200 lagu yang pernah dibuat. Salah satunya Putri yang diciptakan tahun 1984 dan pernah dibawakan di North Sea Jazz Festival,” ujarnya. Beberapa instrumen musik yang digunakan malam itu bahkan milik pribadi Mbak Tutut.
Dari sisi akademis, Prof. Tria S.P. Ismail Saleh menekankan pentingnya buku ini sebagai dokumentasi sejarah personal. “Sejarah tidak hanya dibentuk oleh peristiwa besar, tetapi juga oleh narasi personal yang jarang terdengar publik. Buku ini memuat kesaksian dari tokoh, rekan kerja, keluarga, dan sahabat Mbak Tutut sesuatu yang jarang ditemui dalam literatur sejarah Indonesia,” jelasnya.
Melalui Selangkah di Belakang Mbak Tutut, pembaca diajak memahami bahwa pengabdian tidak selalu gemerlap, tetapi sering kali senyap dan justru di situlah letak kekuatannya. Buku ini menjadi jembatan nilai antara generasi yang telah membangun dan generasi yang akan melanjutkan, dengan pesan yang relevan untuk masa kini dan masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News