Womanindonesia.co.id – Indonesia tengah memasuki masa krusial dalam menghadapi tantangan kesehatan populasi lanjut usia (lansia). Tahun 2024, jumlah lansia di Indonesia telah mencapai 32,4 juta jiwa, atau sekitar 12% dari total penduduk. Jumlah ini diperkirakan akan melonjak menjadi 48,2 juta (16%) pada 2035, dan menyentuh angka 20% pada tahun 2045.
“Artinya, satu dari lima orang Indonesia adalah lansia. Dan kita semua, cepat atau lambat, akan masuk dalam kelompok ini,” ujar Dr. Imran Pambudi, MPHM, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI dalam sebuah diskusi media di Jakarta, Rabu (9/7).
Menurutnya, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi kelompok lansia adalah tingginya risiko penyakit infeksi saluran pernapasan (ISP), termasuk pneumonia dan infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV). Prevalensi penyakit paru, terutama yang berkaitan dengan infeksi virus, kian meningkat seiring bertambahnya usia dan komorbiditas yang menyertainya seperti diabetes dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
“Infeksi saluran pernapasan pada lansia bisa berkali lipat lebih berat dibanding kelompok usia lain. Apalagi bagi mereka yang punya riwayat penyakit penyerta. Ini jadi beban yang serius bagi sistem kesehatan,” tegasnya.
Lebih jauh, Dr. Imran menyinggung soal tingginya angka kematian jemaah haji lansia akibat ISP. Data dari Pusat Kesehatan Haji Kemenkes tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 21% jemaah lansia meninggal dunia karena infeksi paru, seperti pneumonia. “Mayoritas kematian terjadi pada usia di atas 71 tahun, dan ini jadi sorotan negara lain, termasuk pemerintah Arab Saudi,” tambahnya.
Namun, bukan hanya soal data kematian yang menjadi perhatian. Dampak jangka panjang pasca-COVID-19 terhadap fungsi paru dan respon imun juga menjadi kekhawatiran besar.
“Banyak orang yang mengalami sekuel inflamasi paru pasca COVID-19. Saya pun pernah kena COVID. Itu memengaruhi daya tahan tubuh kita dalam jangka panjang, terutama bagi lansia,” ungkapnya.
Mengingat besarnya risiko ini, Dr. Imran menekankan pentingnya peran keluarga sebagai caregiver. Data Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 80% lansia di Indonesia tinggal bersama keluarga, berbeda dengan negara-negara Barat yang mengandalkan fasilitas panti lansia atau nursing home.
“Di Indonesia, keluarga adalah barisan pertama dalam menjaga lansia. Pendekatan berbasis keluarga harus diperkuat. Karena merekalah yang paling dekat dan tahu kondisi lansia setiap hari,” katanya.
Ia juga menggarisbawahi perlunya edukasi yang menyeluruh kepada keluarga agar tidak hanya lansia yang paham soal kesehatan, tetapi juga orang-orang terdekat mereka. “Caregiver itu butuh dukungan. Merawat lansia, apalagi yang sakit, bisa menimbulkan stres. Jadi, menjaga lansia tetap sehat jauh lebih baik daripada merawat saat mereka jatuh sakit,” katanya.
Senada dengan itu, Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-K.V, FINASIM, FACP, mengingatkan bahwa sistem imun lansia memang mengalami penurunan seiring usia, suatu kondisi yang dikenal sebagai immunosenescence.
“Bukan cuma kulit yang menua, tapi sistem imun juga. Itulah kenapa infeksi seperti RSV bisa sangat berat pada lansia,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa saat ini dunia menghadapi ancaman triple-demic, yakni tiga jenis infeksi saluran napas akut yang bersirkulasi bersamaan: COVID-19, influenza, dan RSV.
“COVID memang sudah melandai, tapi belum hilang. Flu biasa juga tetap ada. Dan kini RSV mulai muncul sebagai ancaman besar, khususnya bagi kelompok rentan seperti lansia,” jelas Dr. Sally.
Data proyeksi menunjukkan bahwa dalam lima tahun ke depan, Indonesia berpotensi menghadapi hingga 10 juta kasus infeksi RSV. Angka yang tidak hanya menjadi beban ekonomi, tapi juga sosial.
“RSV itu penularannya tinggi, bahkan lebih tinggi dari COVID-19. Dan sayangnya, gejalanya mirip flu biasa. Tapi kalau tidak sembuh dalam 3-4 hari, apalagi semakin berat, jangan anggap enteng. Bisa jadi itu RSV,” tegasnya.
Dr. Sally juga menyoroti dampak RSV terhadap pasien dengan komorbid penyakit jantung. Infeksi virus ini dapat memicu iskemia (kekurangan oksigen pada otot jantung), memperburuk gagal jantung, hingga menyebabkan serangan jantung berulang.
“Pasien dengan penyakit jantung punya risiko 8 kali lebih tinggi untuk dirawat akibat RSV. Dan angka kematian akibat RSV jauh lebih tinggi daripada influenza,” katanya merujuk pada data studi retrospektif dari Kanada.
Komplikasi yang ditimbulkan pun tidak main-main. Selain serangan jantung, infeksi RSV bisa memicu stroke, gagal jantung akut, hingga kematian mendadak.
Sebagai langkah pencegahan, keduanya sepakat bahwa edukasi masyarakat harus terus digencarkan. Vaksinasi, menjaga kebersihan, cuci tangan, dan menghindari kontak dengan orang sakit adalah hal sederhana tapi krusial. Terlebih lagi bagi mereka yang tinggal serumah dengan lansia.
“Kalau anak kita flu, jangan peluk-peluk neneknya. Pakai masker. Kita yang jaga. Karena kita tidak tahu seberapa kuat imun orang tua kita,” pesan Dr. Sally.
Dr. Imran menutup pesannya dengan harapan agar momentum Hari Lanjut Usia Nasional dan Hari Keluarga Nasional tahun ini dijadikan titik balik untuk menciptakan lansia yang sehat, mandiri, aktif, dan produktif atau disingkat ‘SMART’.
“Mari kita jadikan keluarga sebagai pusat layanan kesehatan dan kesejahteraan lansia. Lansia kita harus tetap bermartabat. Jangan hanya jadi objek. Mereka punya potensi dan harus terus diberdayakan,” pungkasnya.
Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI, Ketua Satgas Imunisasi Dewasa, PP PAPDI kembali menekankan mengenai pentingnya imunisasi dewasa terutama pada lansia. Untuk melindungi lansia, PAPDI telah merilis Jadwal Imunisasi Dewasa 2025 satgasimunisasipapdi.com§ dimana salah satu vaksinasi yang direkomendasikan adalah untuk RSV.
Vaksin yang direkomendasikan utamanya bagi masyarakat 50 tahun keatas ini dapat menjadi antisipasi terjadinya tripledemic yaitu kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan yang diakibatkan oleh Influenza, Covid-19, dan RSV serta kemungkinan kasus koinfeksi antara ketiganya. Sangat penting untuk memprioritaskan vaksinasi untuk individu dalam populasi berisiko tinggi, termasuk mereka yang sudah berusia diatas 50 tahun dan memiliki kondisi medis kronis,” jelasnya.
dr. Calvin Kwan selaku Country Medical Director Indonesia, “Lebih lanjut, GSK di Indonesia telah hadir selama lebih dari 50 tahun untuk melindungi individu sepanjang hidup mereka dari berbagai penyakit. Dengan memperkuat konsep ageing gracefully melalui pencegahan penyakit, termasuk infeksi pernapasan seperti infeksi RSV, menjadi bagian penting dari strategi untuk mencapai penuaan yang berkualitas. GSK berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam mengurangi beban ekonomi akibat penyakit kronis dan meningkatkan kualitas hidup lansia. Upaya ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan) dan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi).”
dr. Calvin Kwan menambahkan, “Kami terus berkomitmen untuk mengembangkan akses pada obat dan vaksin inovatif untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat yang terus berkembang untuk membangun masa depan masyarakat Indonesia yang lebih sehat. Selain itu, kami memiliki upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat melalui media sosial Instagram dan microsite CegahRSV. Kami juga mendorong masyarakat untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan untuk menentukan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk kebutuhan spesifik masing-masing individu.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News