Womanindonesia.co.id – Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Iklim, dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan angkat bicara soal analisis pakar yang menyebutkan kemungkinan perpanjangan musim hujan di Indonesia.
Situasi tersebut masih terkait dengan hujan lebat di berbagai tempat, sementara BMKG mengingatkan bulan ini menjadi kemarau yaitu. periode transisi.
Selain itu, pihaknya berulang kali menerbitkan prakiraan datangnya musim kemarau akibat fenomena El Nino yang lemah.
Dodo menjelaskan, peralihan yang dimaksud adalah peralihan atau pergantian musim, baik dari hujan ke kemarau maupun sebaliknya. Salah satu cirinya adalah angin kencang dengan arah yang berubah-ubah.
“Kita perkirakan awal musim (hujan/kemarau), nah menjelang musim kita perkirakan bisa dibilang masa peralihan. Misalnya di suatu daerah diprediksi musim kemarau di bulan April, maka bulan Maret adalah peralihan. Masih terkait hujan,”Kta Dodo melansir dari CNN pada Rabu, (20/3/2022).
“Kami masih berbulan-bulan memasuki musim hujan dan kami akan menyelesaikannya,” tambahnya.
Menurutnya, fenomena yang terjadi saat ini adalah La Nina yang akan aktif mulai tahun 2020 hingga akhir tahun 2022. “Jadi kondisi atmosfer dan laut di La Nina sekarang menuju netral,” kata Dodo, “akan ada efek El Nino yang lemah mulai pertengahan tahun ini hingga akhir tahun.”
Dikutip oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), La Nina, secara harfiah diartikan sebagai gadis kecil, sebagai peristiwa dingin.
Model iklim Samudra Pasifik ini memicu angin pasat yang lebih kuat dari biasanya, yang mendorong air yang lebih hangat menuju Asia dan meningkatkan curah hujan.
Dodo melanjutkan, posisi geografis Indonesia yang berada di wilayah monsun Asia terpengaruh.
Monsun Asia, yang dipinjam dari Universitas Auburn, mengacu pada bagian benua Asia yang mengalami perubahan pola angin musiman yang signifikan di seluruh wilayah.
“Monsun Asia bertepatan dengan musim hujan, angin bertiup dari benua Asia, dan monsun Australia bertepatan dengan musim kemarau. Angin bertiup dari benua Australia,” jelasnya. “Sebenarnya monsun Asia saat ini masih aktif dengan gejala yang dianalisis,” lanjutnya.
Ia juga menjelaskan fase musim kemarau di Indonesia yang saat ini sangat kecil.
Hingga Maret 2023, hanya satu persen wilayah Indonesia yang memasuki musim kemarau. Tiga daerah di Bali, satu daerah di Banten-DKI dan tiga daerah di NTB.
Pada April, 17 persen wilayah mengalami kekeringan, lanjutnya. Misalnya 27 daerah di NTT, 21 daerah di NTB dan 45 daerah di Jawa Timur.
Pada bulan Mei, kekeringan menutupi 22 persen wilayah tersebut. Misalnya 34 daerah di Jawa Tengah. Pada Juni, musim kemarau mencapai 22 persen luas wilayah.
Misalnya 17 daerah di Riau. Pada Juli, 10 persen wilayah terdampak kekeringan, termasuk 12 wilayah di Sulawesi Tengah. Pada Agustus, kekeringan meliputi 4 persen wilayah, misalnya enam wilayah di Sulawesi Selatan.
September, musim kemarau hanya terjadi di 2% wilayah Indonesia, termasuk lima wilayah di Papua Barat.
Sebelumnya, ahli meteorologi Erma Yulihastin dari Pusat Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan musim hujan akan semakin panjang.
Erma mengatakan, perpanjangan musim hujan merupakan cerminan pertumbuhan dan pergerakan siklon Samudera Hindia bagian selatan, hujan terus menerus, gelombang Kelvin dan Rossby ekuator, serta El Nino yang tidak menentu.
Para ahli sendiri menunjukkan bahwa fenomena iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina berkaitan dengan pemanasan global, khususnya aktivitas manusia. Misalnya, konsumsi bahan bakar yang berlebihan. Konsekuensinya adalah banjir dan kekeringan yang semakin banyak.
BRIN sebut perpanjangan musim hujan
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut musim kemarau yang lebih kering bisa terjadi lebih awal di Indonesia akibat datangnya El Nino.
Namun, ahli meteorologi Erma Yulihastin dari Pusat Riset dan Inovasi (BRIN) tidak sependapat.
“Konvergensi angin di Jawa dan monsun Asia semakin intensif. Makanya saya tidak pernah bilang itu musim kemarau atau peralihan. Kalau perlu musim hujan diperpanjang,” katanya di akun Twitternya, Minggu (26/3).
Dia menunjukkan beberapa gejala fenomena stres. Pertama, pertumbuhan dan pergerakan eddy di Samudera Hindia bagian selatan.
Mengutip Layanan Cuaca Nasional AS, istilah pusaran biasanya mengacu pada aliran udara berlawanan arah jarum jam yang membantu menjaga agar udara tetap dingin.
Misalnya pusaran kutub dan pusaran Kalimantan. M. Nitsche dari University of New Mexico, Albuquerque, USA menyebutkan dalam bukunya Encyclopedia of Mathematical Physics bahwa vortisitas memiliki jari-jari yang berbeda. Tornado misalnya 10-500 meter, angin topan 100-2000 km.
Menurut Erma, berdasarkan pantauan aplikasi SADEWA, potensi awal pertumbuhan pusaran air mulai terjadi pada Rabu (22/3).
Pertama, itu adalah turnamen kecil, berukuran sekitar 2 km, yang disebut turnamen Mezo-Gamma. Lokasinya berada di atas Samudera Hindia sebelah selatan khatulistiwa.
Dalam 20 jam, pusaran menjadi semakin besar dengan radius lebih dari 100 km, yang disebut pusaran Mid-Beta. Pusaran tersebut terus membesar hingga menjadi meso-alpha vortex dengan radius putaran lebih dari 1000 km.
Hujan di Sumatera dan Jawa semakin intensif dan meningkat lagi sebagai efek pusaran pertumbuhan.
Ia juga mengatakan, hal ini bisa memicu hujan di Pulau Jawa karena faktor arah angin. “Dinamika pilin Samudera Hindia selatan berperan dalam menciptakan konvergensi yang luas di atas Jawa,” katanya.
“Kemana perginya massa awan besar siklon Samudra Hindia ini? Mungkinkah dia hanya tinggal di sana? Perhatikan arah angin. Ini adalah fenomena ekstrim yang saya peringatkan beberapa hari yang lalu,” katanya dalam tweet.
Dia mengungkapkan, pusaran berbentuk ganda juga terbentuk di sekitar Laut Banda yang memicu hujan di sekitar Maluku.
Konsekuensi kedua Erma, hujan terus menerus atau terus menerus. Dia mencontohkan, akibat sirkulasi Samudera Hindia, hujan deras bisa menghanyutkan Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur selama berhari-hari.
“Yang pasti ini juga menunjukkan Indonesia belum masuk musim kemarau. Kalau hujan terus menerus dan berlangsung berhari-hari, diikuti angin barat khas musim hujan, berarti musim kemarau belum ada. dia berkata.
Ketiga, El Nino tak merata. Erma menyebut fenomena iklim ini cuma mempercepat awal kemarau di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Memang El Nino diprediksi mulai terjadi pada Mei 2023 oleh berbagai model global. Namun, dampaknya tidak untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan. Pengaruh El Nino yang mempercepat awal kemarau hanya terjadi di wilayah NTT seperti Kupang dan Manggarai Barat,” tutur dia.
Sementara di NTB musim kemarau masih normal dan cenderung masih banyak hujan.
“Pada saat yang sama, musim memiliki siklus 3-6 bulan yang ditandai dengan angin konstan dan curah hujan terus meningkat atau rendah. Jadi jika pengatur utama musim adalah periode mingguan, berarti efek kekeringan El Nino tidak ada. lagi penting,” lanjut Erma.
Keempat, gelombang Kelvin atmosfer dan gelombang Rossby ekuator. Dua gelombang yang disebutnya sebagai penentu musim selama 5 tahun terakhir ini berkaitan erat dengan Vortex.
“Dengan kata lain, cara kita mengetahui gelombang Kelvin atau Rossby yang kuat di atmosfer adalah salah satu cara terbentuknya pusaran air,” katanya.
Sebelumnya pada Jumat (24/3), Deputi Ahli Meteorologi Guswanto dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan: “Secara umum, Indonesia sedang memasuki fase transisi.”
“Saat Ramadhan dimulai, sebagian besar wilayah Indonesia akan datang ke daerah Pancaroba,” lanjutnya.
Gejalanya antara lain suhu panas pada pagi hingga siang hari, munculnya awan konvektif (yang membentuk hujan) pada sore hingga malam hari, disertai hujan disertai petir dan angin kencang untuk beberapa saat.
“Kondisi saat ini dapat memicu kondisi suhu siang hari di Jabodetabek dan beberapa wilayah Indonesia lainnya yang mungkin cukup panas,” kata Guswanto.
Disinggung soal musim kemarau saat El Nino datang lebih cepat, Guswanto mengatakan, “Awal musim kemarau tidak serentak, tapi mengikuti musim dan waktu dalam setahun. Khusus untuk DKI Jakarta, musim kemarau di bulan Juni.”
Kronologi awal musim kemarau di Indonesia:
1 April: Bali, NTB, NTT, sebagian besar Jawa Timur
2. Mei: sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian pulau Sumatera bagian selatan, Papua bagian selatan.
3 Juni: Jakarta, sebagian kecil pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian besar pulau Kalimantan Selatan, sebagian besar pulau Sulawesi Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News