Botol susu bayi umunya terbuat dari plastik. Tapi tahukah Anda bahwa beberapa botol susu yang terbuat dari plastik mengandung bahan kimia yang berbaha buat anak.
Womanindonesia.co.id – Air Susu Ibu (ASI) merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh ibu untuk bayinya, sebagai sumber nutri untuk proses tumbuh kembang Si Kecil. Memberikan ASI yang diperah atau susu formula pada bayi dengan menggunakan botol susu merupakan hal yang umum dilakukan.
Sangat penting bagi Anda ketika memilih botol susu yang dijamin keamanannya untuk di jadikan wadah ASI atau susu bayi Anda. Namun, masih banyak orangtua yang menggunakan botol plastik, padahal botol plastik memiliki bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Nah, bahan kimia seperti apakah itu? Simak berikut ini:
Bahan Kimia Pada Botol Susu
Sejak tahun 2012, lembaga federal Amerika Serikat Food and Drug Administration (FDA) sudah melarang pemakaian bahan kimia berbahaya yakni bisphenol-A (BPA) pada botol plastik bayi dan sippy cup. Sayangnya, BPA mungkin bukan satu-satunya bahan kimia yang ada di dalam botol plastik tersebut.
“Bahkan botol plastik bebas BPA memiliki beberapa risiko,” kata dokter anak W. Kyle Mudd, DO dikutip dari laman kompas.com.
“Tapi kita bisa mengambil langkah untuk membatasi risikonya sebanyak mungkin,” lanjut dia.
Menurut Ketua Komnas PA Arist Merdeka SIrait, bayi, balita dan janin belum memiliki sistem detok sehingga racun yang masuk ke dalam tubuh mereka bisa langsung menyerang sistem kekebalan tubuh dan menjadi penyakit.
“Untuk bayi dan anak-anak Indonesia harus zero zat BPA, tidak ada toleransi ambang batas BPA yang diperbolehkan untuk usia rentan itu,” tegasnya.
BPA sejatinya mengandung racun. Partikel plastik BPA bisa menimbulkan gangguan kesehatan, berbahaya bagi bayi dan balita, bahkan bisa berpotensi memicu penyakit kanker.
Plastik polycarbonat yang mengandung BPA disarankan tidak lagi dipakai untuk kemasan plastik minum bayi. “Plastik BPA berbahaya bagi bayi karena terbukti dapat memengaruhi berat badan lahir, perkembangan hormonal, perilaku dan resiko kanker di kemudian hari,” utur Dian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News