Womanindonesia.co.id – Media sosial telah menjadi wadah bagi masyarakat untuk berinteraksi dan berbagi informasi. Namun, di balik kebebasan tersebut, terdapat fenomena yang kerap terjadi, yaitu objektifikasi terhadap tubuh perempuan.
Perempuan seringkali menjadi sasaran penjajakan, di mana tubuh mereka diekspos secara vulgar dan disamakan dengan objek seksual. Hal ini merugikan perempuan, karena dapat merusak harga diri, mengancam keselamatan, dan mengesampingkan potensi serta kepribadian mereka.
Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai objektifikasi perempuan di media sosial, dampak yang ditimbulkan, serta upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Perempuan Kerap Menjadi Sasaran Objektifikasi di Media Sosial
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh tim peneliti diskusi komunikasi mahasiswa (Diskoma) Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, diketahui bahwa objektifikasi perempuan semakin marak ditemukan di media sosial.
Hal ini dapat dilihat masih banyaknya akun media sosial seperti @ugmcantik, @uiicantikganteng, dan @uny_cantik yang masih menjadikan perempuan sebagai bahan objektifikasi.
Objektifikasi perempuan berarti perempuan sebagai objek bebas untuk dipandang, dinilai, dan juga dinikmati tanpa mempertimbangkan pendapat si pemilik tubuh. Persoalan ini tentu merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan merugikan perempuan.
Dosen Ilmu Komunikasi UGM Dr. Dian Arymami, S.I.P., M.Hum, yang menekuni kajian media dan budaya, mengatakan objektifikasi perempuan justru dilakukan oleh diri sendiri dan bukan oleh orang lain.
“Ini dapat diamati dari semakin banyaknya foto-foto yang diunggah oleh pemilik akun media sosial yang menonjolkan tubuh secara berlebihan dan ini menjadi perdebatan yang terus menerus terkait bagaimana membedakan antara objektifikasi dan kesukarelaan,” kata Dian dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.
Jelasnya, kata Dian jika kita berbicara tentang media sosial saat ini, konten itu menjadi sebuah medium untuk mendapatkan penghasilan. Sehingga seorang perempuan dapat secara sadar dan sukarela mengobjektifikasi dirinya untuk kepentingan ekonomi.
Dampak objektifikasi antara lain, perempuan kerap mengalami ketidaknyamanan dan ketidakpuasan terhadap apa yang dimilikinya saat ini dan tubuhnya, serta ketakukan terhadap penilaian publik.
“Hal tersebut berpotensi memengaruhi mental dan psikologisnya, yang dapat mengakibatkan depresi,” katanya.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta Dewanto Samodro, M.I.Kom mengungkapkan objektifikasi tidak selalu terjadi pada perempuan namun tak jarang juga laki-laki menjadi korban objektifikasi.
“Kalau pada laki-laki, objektifikasi terjadi pada idola, sementara pada perempuan, objektifikasi lebih bersifat umum,” tuturnya.
Menanggapi hal ini, kedua pembicara sepakat, perlunya perempuan memiliki kendali atas tubuh mereka agar tidak menjadi objek bagi orang lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News