WomanIndonesia.co.id – Sejumlah negara di dunia saat ini menghadapi tantangan global. Mencakup pengurangan kemiskinan, perlunya memperbaiki sumber daya manusia (SDM) yang dapat dilakukan antara lain dengan mencegah stunting. Kemudian akses pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih baik, serta sistem pangan berkelanjutan.
Prof. Martin W Bloem selaku Professor of John Hopkins Bloomberg School of Public Health menjelaskan populasi global tengah menghadapi krisis yang saling terkait, mencakup kemiskinan, masalah gizi buruk (gizi kurang dan kegemukan), juga masalah kesehatan (mortalitas dan morbiditas anak).
“Ada 5 miliar orang tinggal di kawasan di mana gizi buruk dan kematian anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat,” kata Bloem di ajang Asian Congress of Nutrition (ACN) 2019 bertajuk ‘Nutrition and Food Innovation for Sustained Well-being’ di Jakarta baru-baru ini.
Bloem yang juga menjabat sebagai Director of Center for Livable Future menerangkan, guna memutus mata rantai ini, konsumsi makanan bergizi harus berkelanjutan.
“Pelaku usaha dalam hal ini dapat berkontribusi dengan menyediakan makanan bergizi, antara lain dengan fortifikasi,” ujar Bloem.
Terkait masalah gizi, lndonesia saat ini menghadapi beban ganda (double burden). Di satu sisi Indonesia menghadapi masalah gizi kurang (pendek/stunting, dan kurus), di sisi lain Indonesia telah dihadapkan pada masalah obesitas atau kegemukan.
Selain beban ganda masalah gizi, Indonesia juga dihadapkan pada masalah kekurangan gizi mikro, yang berpotensi menjadi hidden hunger (bentuk kekurangan gizi mikro berupa defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B yang tersembunyi).
Hidden hunger ini memiliki dampak serius karena dari luar tidak menampakkan gejala, namun sebenarnya masalah itu ada (penderitanya jadi gampang sakit).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen dari 37,2 persen di 2013, prevalensi gizi kurang (underweigth) juga membaik dari 19,6 persen pada 2013 menjadi 17,7 persen (2018), sedangkan prevalensi kurus (wasting) turun ke posisi 10,2 persen (2018) dari 12,1 (2013).
Meskipun angka stunting menurun, masih belum memenuhi syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di ambang batas 20 persen.
Senada dengan Prof Bloem, Prof Purwiyatno mengatakan masyarakat Indonesia masih mengalami kekurangan gizi mikro, seperti yodium, vitamin A, zat besi, hingga mineral lainnya.
Prof Purwiyatno mengatakan, kemiskinan masih menjadi faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ini.
“Karena miskin, tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan makanan sehat dengan mudah, sehingga harus dicarikan solusinya, antara lain fortifikasi pangan oleh dunia usaha,” ujarnya.
Fortifikasi pangan merupakan metode untuk menitipkan senyawa penting yang diperlukan ke makanan untuk meningkatkan nilai gizinya, sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat.
“Vitamin A misalnya, lazim dimasukkan ke produk margarin dan minyak goreng. Sementara yodium dimasukkan ke dalam garam,” tutur Prof Purwiyatno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News