Womanindonesia.co.id – Hari Bidan Nasional diperingati pada tanggal 24 Juni setiap tahunnya. Hari Bidan Nasional diperingati dengan tujuan memberi tahu masyarakat akan tugas mulia seorang bidan yang harus siaga 24 jam.
Tanggal 24 Juni juga diperingati hari berdirinya Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sejak tahun 1951. Nah, berkaitan dengan Hari Bidan Nasional kali ini kami akan mengangkat salah satu kisah Bidan yang berada di daerah terpencil berikut ini.
Suka Duka Yessi Sulidar Bidan di Pelosok Desa di Riau
Yessi Sulidar adalah salah seorang bidang yang bertugas di Pelosok Desa di Riau yakni di Desa Sungai Mas Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Riau.
Bagi Yessi, menjadi Bidan Desa atau Bindes merupakan sarana pengabdian untuk melayani masyaraka. Meskipun banyak tantangannya Yessi Sulidar menjalani tugas tersebut dengan ikhlas dan sepenuh hati.
Menurut Yessi, bertugas di daerah terpencil dan pelosok Riau butuh perjuangan dan banyak kesan bagi perempuan cantik berusia 33 tahun ini.
Banyak suka duka yang dirasakan Bidan Yessi selama mengabdi di Desa Sungai Mas yang terletak di Pulau Mendol, wilayah perairan Pelalawan.
“Saya bertugas disini sejak Januari 2016 lalu, berarti sudah empat tahunlah. Menikmati pekerjaan dengan kondisi yang serba terbatas, tidak seperti di kota,” kata bidan Yessi.
Yessi bercerita, awalnya ia bertugas di Kabupaten Kampar sebagai bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) tahun 2009 lalu.
Bersama suaminya, Asril, ia pindah tugas ke Desa Sungai Mas sejak tahun 2016 dan suaminya yang berprofesi sebagai polisi bertugas di Tanjung Batu, Kepulauan Riau
Setahun berdinasi di desa yang berbatasan langsun dengan laut dan sungai itu, Yessi diangkat menjadi CPNS hingga diambil sumpah sebagai abdi negara.
Demi melayani masyarakat dan bertugas di daerah terpencil, Bidan Yessi harus rela berhubungan jarak jauh dengan suami. Mereka bertemu satu kali seminggu atau lebih disaat ada waktu libur maupun akhir pekan.
Sebagai Bindes, wanita berjilbab memilih tinggal di rumah Kepala Desa (Kades), lantaran kondisi gedung Pustu yang sangat memprihatinkan. Apalagi bangunan lama yang tak layak huni itu tidak dilengkapi penerangan arus listrik.
“Kalau saya tinggal sendiri disitu, resikonya besar. Kondisinya ngak ada lampu seperti ini. Suami juga tak di sini,” terangnya.
Banyak kisah-kisah yang dialami Bidan Yessi saat mengobati warga yang sakit. Dijelaskan Yessi warga yang datang sendiri berobat ke pustu akan dilayani secara gratis dan diberikan obat yang disedikan.
Cukup hanya membawa Kartu Tand Penduduk (KTP) dan kartu kesehatan yang dimiliki. Tantangan akan dimulai jika warga yang sakit harus dijenguk ke rumahnya.
Meskipun jumlah penduduk di Desa Sungai Mas tidak sebanyak desa lainnya tapi jarak antara satu rumah ke rumah lain cukup jauh, apalagi berlainan dusun.
Bidan Yessi harus mengendari sepeda motor sendirian menyusuri jalan tanah di perkampungan tersebut. Jika musim panas, debu jalanan yang tebal menemani perjalanannya saat berangkat dan pulang.
Menurut Yessi Sulidar, debu dan pasir akan hinggap diseluruh pakaian, termasuk tas ransel sebagai tempat obat dan alat kesehatan yang dibawanya. “Kalau kita berangkat sudah dandan rapi, pulangnya sudah berdemu semuanya dari atas sampai bawah,” kenangnya sambil tertawa.
Tantangannya akan berbeda lagi dikala musim hujan. Jalan yang tadinya tanah keras, berubah menjadi kubangan lumpur yang dalam serta penuh dengan becek. Tak jarang seped motor miliknya terpuruk di tengah jalan dan terpaksa menunggu orang lain melinta supaya bisa ditarik keluar dari lumpur.
Tentu semua pakaian hingga sepatu ikut keciprat lumpur. “Jarak perjalanannya ada yang satu jam dan kalau jalan rusak, lebih dua jam. Kemudian pulangnya lagi. Ini memang sudah tugas kami sebagai tenaga kesehatan, khususnya bidan desa,” kata alumni Poleteknik Kesehatan dr Rusdi Kota Medan Sumatera Utara ini.
Pengalaman merujuk pasien ke Pusat Kesehatan (Puskesmas) maupun ke rumah sakit juga tidak kalah menantang selama ini.
Bidan Yessi mengenang saat merujuk seorang pasien wanita yang hendak melahirkan dari Desa Sungai Mas tahun 2018 lalu.
Si ibu tersebut akan melahirkan anak pertamanya, setelah diobservasi ternyata tak si bayi tak kunjung keluar.
Bidan Yessi memutuskan untuk merujuk pasien ke Puskesmas Kuala di Kampar yang jaraknya cukup jauh, padaha air ketuban sudah pecah. Lantaran tidak ada kendaraan roda empat dan tak mungkin menggunakan sepeda motor, proses rujukan dilakukan menggunakan kapal pompong sekitar pukul 09.00 wib.
Di dalam kapal kayu bermotor itu disulap sekayaknya ambulance sederhana dengan tempat tidur seadanya dan peralatan kesehatan lainnya. Selama hampir dua jam kapal kayu itu menantang ombak mulai dari sungai hingga ke laut.
“Ngeri-ngeri sedap juga kalau ombaknya besar. Disisi lain harus menyelamatkan pasien, disamping itu memikirkan keselamatan kita kalau terjadi apa-apa di tengah jalan. Alhamdulillah memang tidak ada kendala selama ini,” kenang Yessi.
Setibanya di Puskesmas dan diberikan penanganan oleh tim medis, ternyata proses bersalin juga tak kunjung berhasil. Kemudian diputuskan untuk dirujuk kembali ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjung Balai Karimun menggunakan speedboat puskesmas.
Namun kondisi air sedang surut dan harus ditunggu air pasang naik agar speedboat bisa bergerak. Dengan kondisi pasien yang menahan sakit beberapa jam dan si anak yang harus diselamatkan secapatnya, lambat laun air naik hingga memungkinkan kapal berlayar.
Menjelang sore mereka berangkat dengan menempuh perjalan satu jam lebih melewati lautan. Setibanya di RSUD pada malam hari dilakukan penanganan sesuai prosedur dan dibantu alat kesehatan yang lebih lengkap, si ibu dan anaknya akhirnya bisa diselamatkan, menjelang tengah malam.
“Sampai lupa kalau kami belum makan. Ada perasan puas setelah pasien tertangani dan dalam kondisi sehat,” kata Yessi Sulidar.
Pengalaman serupa pernah dialami Yessi Sulidar juga dua tahun lalu, merujuk ibu hamil hingga ke provinsi tetangga. Namun sayang si anak tak bisa diselamatkan setelah sampai di rumah sakit. Segudang pengalaman itu dijadikan Yessi Sulidar sebagai pelajaran hidup dan pengabdiannya sebagai petuga kesehatan.
Yessi Sulidar menjalaninya dengan enjoy tanpa banyak mengeluh, termasuk dari segi pendapatan yang bisa dikatakan jauh dibanding Bindes yang dekat dengan pusat kota. Tak jarang pasien berhutang atas obat dan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan. Alasannya menunggu hasil kebun kelapa di jual ke toke.
Hal itu juga tak membuat dirinya mengurangi pelayanan ataupun pengapdian sebagi Bindes. Kepala Puskesmas Kuala Kampar, Yan Beni Ayula S.Kep menyebutkan, perjuangan bidan desa yang ada di wilayah Kuala Kampar memang cukup berat.
Kondisi itu diakibatkan letak geografis yang berjauhan ditambah sarana dan prasarana yang terbatas serta alat transportasi minim di wilayah perairan maupu kepulauan. Namun hal itu tidak menyurutkan niat para petug kesehatan di desa-desa untuk melayani masyarakat dengan prima.
“Keterbatasan yang ada tidak membuat kami menyerah dengan keadaan. Tujuan utama untuk melayani masyarakat semampunya,” tegas pria yang akrab disapa Beni ini.
Selamat Hari Bidan Nasional 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News