Womanindonesia.co.id – Tanggal 2 Oktober merupakan peringatan Hari Tanpa Kekerasan Sedunia yang di tetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut resolusi Majelis Umum A/RES/61/271 tanggal 15 Juni 2007, momen ini adalah suatu kesempatan untuk ‘menyebarkan pesan anti-kekerasan, termasuk melalui pendidikan dan kesadaran publik,’ seperti yang dikutip dari situs UN.
Pada tahun 1993, Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PKDRT) mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai:
Kekerasan dalam rumah tangga dapat didefinisikan sebagai pola perilaku dalam hubungan apa pun yang digunakan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas pasangan. Pelecehan adalah tindakan fisik, seksual, emosional, ekonomi atau psikologis atau ancaman tindakan yang mempengaruhi orang lain.
Ini termasuk setiap perilaku yang menakut-nakuti, mengintimidasi, meneror, memanipulasi, menyakiti, mempermalukan, menyalahkan, atau melukai seseorang. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada siapa saja dari segala ras, usia, orientasi seksual, agama, atau jenis kelamin. Ini dapat terjadi dalam berbagai hubungan termasuk pasangan yang sudah menikah, tinggal bersama atau berkencan.
KDRT mempengaruhi orang-orang dari semua latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan.
Siapapun bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, keyakinan atau kelas. Korban KDRT juga dapat mencakup seorang anak atau kerabat lainnya, atau anggota rumah tangga lainnya. KDRT dimanifestasikan sebagai pola perilaku kasar terhadap pasangan intim dalam hubungan keluarga, di mana pelaku menggunakan kekuasaan dan kontrol atas korban.
KDRT dapat bersifat mental, fisik, ekonomi atau seksual. Insiden jarang terisolasi, dan biasanya meningkat dalam frekuensi dan tingkat keparahan. KDRT dapat berujung pada cedera fisik yang serius atau kematian.
Komnas Perempuan melaporkan bahwa KDRT menjadi kasus yang kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Terdapat 319 kasus kekerasan yang telah dilaporkan semasa pandemi. Dua pertiga dari angka tersebut merupakan kasus KDRT.
Data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga menunjukkan bahwa terdapat 110 kasus KDRT yang telah dilaporkan, sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari tanggal 16 Maret sampai 20 Juni. Dalam kurun waktu 3 bulan tersebut, angka kasus KDRT telah mencapai setengah dari angka kasus KDRT selama 2019. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan. Hal ini menambah daftar kerentanan yang dialami perempuan-perempuan di Indonesia.
Mari kita ulas berikut ini terkait apa saja yang termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tanggal (KDRT) dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya KDRT.
Terdapat empat jenis kekerasan yang termasuk KDRT, yakni:
Kekerasan terbuka atau overt
Yakni kekerasan fisik yang dapat dilihat, seperti perkelahian, pukulan, tendangan, menjambak, mendorong, sampai pada membunuh.
Kekerasan tertutup atau overt
Biasanya dikenal dengan kekerasan psikis atau emosional. Kekerasan ini sifatnya tersembunyi, seperti ancaman, hinaan, atau cemooh yang kemudian menyebabkan korban susah tidur, tidak percaya diri, tidak berdaya, terteror, dan memiliki keinginan bunuh diri.
Kekerasan seksual
Merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual (meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal seperti membuat komentar, julukan, atau gurauan porno yang sifatnya mengejek, juga membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.
Kekerasan finansial atau definisi
Kekerasan yang dilakukan dalam bentuk eksploitasi, memanipulasi, dan mengendalikan korban dengan tujuan finansial. Serta memaksa korban bekerja, melarang korban bekerja tapi menelantarkannya, atau mengambil harta pasangan tanpa sepengetahuannya.
Apa yang harus dilakukan jika hal di atas terjadi?
Ketika kita menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jangan hanya pasrah dan berlapang dada, sebab kekerasan seperti itu seharusnya di tindaki dan diadili. Berikut yang harus kita lakukan ketika menjadi korban KDRT:
Lapor Polisi
Jika mengalami KDRT dalam bentuk kekerasan fisik, korban harus melapor ke kepolisian. Petugas akan mengarahkan untuk melakukan visum et repertum di rumah sakit. Hasil visum dapat digunakan sebagai alat bukti surat yang diajukan ke pengadilan.
Pengaduan P2TP2A
Selain ke polisi, korban juga bisa mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Atau melalui situs resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pada situs tersebut, di bagian layanan publik, tersedia formulir pengaduan masyarakat. Pelapor harus mengisi data mengenai pekerjaan, status perkawinan, bentuk kekerasan, tempat dan waktu kejadian, ciri-ciri pelaku serta huhungannya dengan korban
Jika korban tidak dapat datang sendiri, bisa diwakilkan oleh keluarga atau pengacara untuk melapor ke kantor polisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News