Womanindonesia.co.id – Penetapan puasa di awal Ramadhan ditentukan dengan dua cara. Di Indonesia, dua metode yang dimaksud adalah metode Ikmanur-Rukyat dan perhitungan alam Hilal.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW. Mengenai Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Artinya: “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua metode ini menjadi salah satu alasan mengapa terdapat perbedaan dalam mendefinisikan awal Ramadhan di Indonesia.
Misalnya, berdasarkan keputusan awal Ramadhan tahun lalu, sebagian umat Islam mulai berpuasa pada 2 April 2022, sementara yang lain mulai pada 3 April 2022. Lantas apa yang membedakan keduanya?
2 cara menentukan puasa di awal ramadhan
1. Metode Ikmanur Rukyat
Dalam bahasa rukiat berarti melihat dengan mata dan hilal berarti bulan sabit. Penentuan awal puasa Ramadhan dengan cara ini berarti didasarkan pada penampakan dan pengamatan langsung terhadap bulan sabit atau bulan purnama.
Menentukan awal Ramadhan dengan menggunakan metode yang disebut Rukyatul Hilal merupakan metode yang disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana Allah SWT pernah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
Bulan yang dimaksud adalah bulan sabit muda sangat tipis pada fase awal bulan baru. Bulan inilah yang disebut dengan hilal.
“Metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi’ly),” bunyi keterangan dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU).
Penampakan hilal dilakukan pada malam tanggal 29 atau 30 bulan berjalan. Ketika bulan baru muncul pada malam itu, bulan baru juga dimulai pada malam itu.
Sebaliknya, bila hilal tidak terlihat, maka malam itu adalah tanggal 30 bulan berjalan. Malam berikutnya dimulai hari pertama bulan baru terkait dengan istikmal (diisi).
Menurut penasehat agama Nandang Syukur di website Kementerian Agama Jawa Barat, Nabi SAW menggunakan cara tersebut.
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Metode Perhitungan Aspek Hilal
Cara menentukan awal puasa Ramadhan selanjutnya adalah dengan menghitung hilal secara internal. Metode perhitungan ini merupakan metode untuk menentukan awal Ramadhan melalui perhitungan astronomi.
Metode ini mengasumsikan bahwa hilal dapat terlihat, meskipun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang selama memenuhi kriteria tertentu. Tiga kriteria penentuan hilal dengan metode ini adalah:
- Telah terjadi ijtimak (konjungsi)
- Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam
- Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud)
Semua kriteria ini harus dipenuhi untuk memulai bulan baru. Jika ada yang tidak berhasil, bulan baru belum tiba.
Perhatikan bahwa ketika menggunakan metode kriteria penyelesaian sebenarnya untuk ijtimak sebelum matahari terbenam (al-ijtima’ qabla al-gurub) tidak perlu lagi mempertimbangkan keberadaan bulan apakah matahari terbenam di atas cakrawala atau tidak.
Misalnya, jika Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka bisa dikatakan bahwa malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru.
Sebaliknya, jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan hari berikutnya masih merupakan hari bulan purnama.
Melansir buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, kriteria dalam metode hisab wujudul hilal dipahami berdasarkan surah Yasin ayat 39-40,
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40)
Artinya: 39. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Berdasarkan hal tersebut, para ilmuwan yang mengetahui perhitungan mengumpulkan model rotasi bumi, bulan, dan matahari.
Formula inilah yang menjadi dasar perhitungan awal Ramadhan dan Idul Fitri. PP Muhammadiyah secara resmi menerbitkan hasil pengumuman Ramadhan pertama 1444H untuk menetapkan hasil Hisab, Ramadhan, Syawal dan Zulhijah 1444H.
Sekretaris PP M Muhammadiyah membacakan hasilnya. Sayuti yang menyatakan puasa Ramadan 2023 akan dimulai pada 23 Maret 2023.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama memadukan kedua cara tersebut di bawah Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah.
Selain itu, pemerintah mulai menerima kriteria baru dari Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) 2021.
Karena itu, untuk menentukan awal puasa Ramadhan, masyarakat Indonesia tetap diminta menunggu hasil rapat Isbat berdasarkan perhitungan dan hilal.
Hasil perhitungan merupakan data awal yang kemudian dikonfirmasi dengan pengamatan hilal di lapangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News