Womanindonesia.co.id – Hari Bakti Postel diperingati pada tanggal 27 September setiap tahunnya. Hari Postel merupakan merupakan momentum peringatan sejarah diambil alihnya Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) dari kekuasaan pemerintah Jepang.
Sejarah Hari Bakti Postel
Peristiwa pengambilalihan Jawatan PTT ini membutuhkan perjalanan yang tidak mudah. Apalagi, Jepang enggan untuk menyerahkan Jawatan PTT.
Adalah putra-putri Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT) yang berjasa merebut jawatan PTT tersebut dari tangan Nippon, menurut laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, dikutip Sabtu. AMPTT yang saat itu belum mempunyai pengurus, pada 3 September 1945 mengadakan pertemuan.
Dalam Pertemuan yang digagas oleh Soetoko dan diikuti oleh sejumlah pemuda itu, disepakati bahwa Kantor Pusat PTT harus sudah dikuasai paling lambat akhir bulan September 1945. Adapun komandan Pasukan Jepang menginstruksikan bahwa penyerahan Kantor Pusat PTT harus dilakukan oleh sekutu.
Pada tanggal 23 September 1945, Soetoko bersama sejumlah pemuda berunding yang hasilnya meminta kesediaan dari Mas Soeharto dan R. Dijar untuk menuntut pihak Jepang supaya menyerahkan kekuasaan PTT secara damai.
Namun, perundingan itu hanya berujung pada kesepakatan bahwa kubu Jepang mengizinkan pengibaran bendera merah-putih di halaman gedung Kantor Pusat Jawatan PTT. Sekalipun kesepakatan tersebut kurang memuaskan, para pemuda AMPTT tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka segera menaikkan bendara merah-putih di sebuah tiang khusus yang sekarang menjadi tempat tugu PTT berada.
Selanjutnya, serangkaian perundingan dengan Jepang terus dilakukan. Namun, tuntutan para pemuda Indonesia agar Jepang menyerahkan kendali atas Kantor Pusat Jawatan PTT tetap diabaikan.
Kecewa dengan sikap keras kepala kubu Jepang, para pemuda yang tergabung dalam AMPTT lalu membuat satu keputusan penting. Mereka menyusun strategi guna merebut Kantor Pusat Jawatan PTT secara paksa dari Jepang. Tanggal 27 September 1945 ditetapkan sebagai hari pelaksanaan rencana tersebut.
Rencana disusun dengan matang. Kemungkinan terburuk sudah siap dihadapi oleh para pemuda AMPTT, termasuk risiko bentrok senjata dengan tentara Nipon. Selain menyiapkan senjata untuk melawan tentara Jepang, pemuda AMPTT pun berusaha memperbesar kekuatan dengan mengerahkan massa rakyat.
Gerakan AMPTT ini dipimpin oleh Soetoko sebagai koordinator yang dibantu oleh 3 wakil ketua, yakni Nawawi Alif, Hasan Zein dan Abdoel Djabar. Sehari sebelum penyerbuan, yakni 26 September 1945, Soetoko membagi tugas pada 2 bawahannya.
Soewarno diminta memimpin pasukan yang menghadapi tentara Jepang di Kantor Pusat PTT. Sementara Nawawi mengomandoi massa untuk meruntuhkan tanggul yang mengelilingi gedung.
Saat hari penyerbuan tiba, dan massa sudah berkumpul di halaman Kantor Pusat Jawatan PTT, pasukan AMPTT di bawah pimpinan Soewarno segera masuk gedung. Serbuan mendadak itu membuat tentara Jepang terpaksa harus menyerah dan meletakkan senjata.
Soetoko dan kawan-kawan kemudian segera mengumumkan di depan massa, bahwa mulai 27 September 1945, Mas Soeharto dan R. Dijar menjadi Kepala dan Wakil Kepala Jawatan PTT Indonesia. Pengangkatan keduanya oleh AMPTT dilakukan atas nama para pegawai jawatan.
Mulai keesokan harinya, bekas pimpinan Jawatan PTT Jepang tidak diizinkan lagi masuk kantor. Mereka disuruh tinggal di rumahnya yang telah ditempeli tulisan “Milik Republik Indonesia.” Gedung Kantor Pusat PTT pun siang malam dijaga oleh para anggota AMPTT agar tidak direbut kembali oleh tentara Jepang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News