Tyna Dwi Jayanti seorang beauty influencer Indonesia mengajak seluruh perempuan Indonesia menjaga kelestarian lingkungan dengan memakai produk berbahan organik dan ramah lingkungan.
Womanindonesia.co.id – Beberapa dekade belakangan ini industri kosmetik terus bertumbuh. Setiap saat ada brand baru bermunculan baik lokal maupun produk impor. Masyarakat utamanya perempuan kini dimanjakan dengan banyaknya pilihan brand kosmetik. Mulai dari perawatan tubuh (body care), perawatan wajah (skincare), hingga perawatan rambut (haircare), kini tersedia banyak jenis dengan harga yang bervariasi.
Tapi sadarkah kita, berapa banyak sampah dan limbah kosmetik di Indonesia setiap harinya? Penting diketahui bahwa kemasan produk skincare dan kosmetik kebanyakan berbahan plastik yang tak ramah lingkungan. Artinya, semakin meningkat jumlah produk kecantikan yang dijual di pasaran maka jumlah semakin banyak pula sampah plastik. Jika sampah plastik dari kemasan skincare atau kosmetik tidak dikelola dan didaur ulang dengan baik bisa dibayangkan dampak lingkungan yang akan terjadi?
Dilansir dari Kompas.com Menurut laporan Cosmetic Packaging Market – Growth, Trends and Forecasts (2020-2025), hampir 50 persen kemasan produk kosmetik terbuat dari plastik. Hal ini didukung oleh laporan Minderoo Foundation yang mengatakan bahwa industri kosmetik global memproduksi lebih dari 120 miliar unit kemasan setiap tahun, yang sebagian besar tidak dapat didaur ulang.
Jadi tabung lip gloss, kotak concealer, hingga wadah moisturizer yang kita kenakan sehari-hari kebanyakan berakhir di tempat sampah. Atau lebih buruk lagi ke saluran air bersama dengan wadah plastik sekali pakai lainnya yang juga digunakan oleh milyaran orang setiap harinya.
Masih menurut laporan Minderoo Foundation, jika tidak ada tindakan mengatasi masalah sampah ini, aliran plastik ke lautan akan tiga kali lipat jumlah pada 2040. Kurang lebih 29 juta metrik ton per tahun, atau setara dengan 50 kilogram plastic per meter garis pantai di seluruh dunia.
Limbah Kosmetik dan Skincare di Indonesia
Menurut Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, fasilitas insinerator (waste to energy) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang hanya bisa mengolah 50 ton sampah per hari. Jumlah ini tak bisa menyeimbangi total sampah yang masuk ke area TPA Bantar Gebang Jakarta sebanyak 7.000 hingga 7.500 ton per harinya.
Bisa dikatakan sampah yang masuk ke TPA Bantar Gebang Jakarta mencapai 140 kali lipat lebih banyak dari daya olahnya. Perlu diingat, ini hanya sebagian kecil dari total sampah yang ada di tanah air. Belum digabungkan dengan sampah-sampah lain dari seluruh Indonesia.
Hanya mengandalkan pemerintah untuk membenahi masalah limbah skincare dan kosmetik, tentu bukanlah hal yang bijak, mengingat kita masih tertinggal dalam soal teknologi pengelolaan sampah. Sementara di saat yang bersamaan kita berlomba dengan waktu mengurusi masalah ini, demi mengurangi beban TPA dalam mengolah sampah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News