Womanindonesia.co.id – Pernikahan adalah penyatuan dua hati dari pasangan perempuan dan laki-laki yang menyatukan kehidupannya untuk hidup bersama.
Dari pernikahan inilah dipersatukannya dua karakter yang berbeda, kepribadian dan kultur keluarga masing-masing yang tidak sama.
Dengan adanya perbedaan ini dapat menghiasi pernikahan lebih berwarna dengan harapan adanya keharmonisan dalam sebuah rumah tangga yang dibalut oleh cinta dan kasih sayang, agar terciptanya komunikasi yang baik dengan saling memahami dan mengerti satu sama lain.
Namun seiring perjalanan tidak semua pernikahan itu memiliki keberuntungan yang sama, karena adanya permasalahan yang menimbulkan kemaharan, baik dari salah satu sisi pasangan ataupun kedua belah pihak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Seperti halnya yang terjadi pada pernikahan seorang perempuan yang bernama RPS. Ibu RPS berani mengungkapkan kisah kelamnya selama berumah tangga. Beliau merupakan seorang sarjana pendidikan dengan nilai yang cukup cemerlang. Ini menandakan bahwa KDRT bisa menimpa siapa saja yang berpendidikan ataupun dengan latar belakang sekolah yang bukan level sarjana.
RPS atau yang akrab disapa Ibu Icha ini menikah pada tahun 2005 dengan seorang pria. Memasuki tahun ke-2 yakni tahun 2006 pernikahan, inilah awal terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suaminya pada saat mengandung 8 bulan anak pertama hanya karena masalah sepele keluarganya. Adapun kekerasan yang dilakukan oleh suaminya adalah berupa pukulan dengan membenturkan kepalanya ke tembok.
Dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sering kali terjadi adalah adanya pemakluman dan pemaafan serta adanya ketakutan para korban untuk melawan. Jangankan untuk melawan, kebanyakan dari para korban adalah karena adanya rasa malu dan ketidak percayaan diri untuk bercerita termasuk terhadap keluarga.
Termasuk Ibu Icha yang terus mempertahankan pernikahannya yang tidak sehat ini. Bagaimana tidak sejak hamil di tahun ke-2 pernikahan dari mulai kekerasan itu terjadi hingga punya anak kedua tetap bertahan hingga 15 tahun pernikahan. Kekerasan yang paling parah dialaminya, ketika anak pertama berumur 7 tahun dan anak kedua berumur 4 tahun menyaksikan ibunya dibanting ke ubin. Mereka berteriak histeris, menyaksikan dan memohon sambil menangis agar ayahnya tidak melakukannya.
Dalam kurun waktu 15 tahun pernikahan ini secara materi memang tercukupi, namun harus dibayar dengan penganiayaan dan sandiwara pernikahan yang terlihat sehat dan bahagia dimata orang lain termasuk keluarga. Inilah yang membuat Ibu Icha bertahan dalam pernikahan yang penuh rasa sakit hanya demi anak-anak, nama baik keluarga, orang tua dan stigma rasa takut pandangan orang sebagai seorang janda.
Namun seiring perjalanan waktu, Ibu Icha mulai menyadari, bahwa pernikahannya memang tidak layak untuk dipertahankan. Karena dengan adanya kekerasan dan perlakuan buruk suami tidak hanya menyakitinya secara fisik namun juga secara mental. Begitupun yang dirasakan oleh anak-anaknya yang mulai mengerti dan memahami, hingga membuat mereka ikut terluka dan sakit secara psikis.
Dari ketakutan inilah yang membuat Ibu Icha akhirnya mulai bangkit bahwa dia layak memiliki masa depan yang baik dan dihargai, serta menyelamatkan mental anak-anaknya dengan mencari bantuan hukum dan berkonsultasi atas kasusnya tersebut.
Bukan suatu hal yang mudah ketika ingin lepas dari mantan suami yang temperamen ini, ada banyak hambatan yang dilakukan oleh mantan suami dan keluarganya yang asli pribumi setempat serta pengaruh mereka yang kuat dilingkungan sekitarnya, membuat ibu Icha sempat takut untuk mengambil sikap. Namun berkat support dari anak-anak dan dorongan orang tua serta keluarga secara penuh akhirnya ibu Icha menguatkan tegadnya.
Dengan keberaniannya, akhirnya ibu Icha memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dan berpisah melalui gugatan sidang perceraian setelah berkonsultasi dengan konsultan hukum.
Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan rasa sakit dan trauma setelah belasan tahun dalam pernikahan yang tidak sehat hingga memerlukan waktu untuk menyembuhkannya. Beruntung support sepenuhnya dari orang tua, keluarga dan anak-anak sebagai penyemangat awal yang akhirnya membuatnya bangkit kembali.
Dan sebagai bentuk penyembuhan dirinya akan rasa sakit dan terluka, ibu Icha mulai menyibukan dirinya dengan berbagai kegiatan sosial yang dilakukannya dengan mengurus anak-anak yatim, melayani masyarakat lewat yayasan yang berhasil didirikannya, membantu para lansia, orang sakit dan aktif sebagai aktivis perempuan.
Perjuangannya tidak sia-sia. RPS yang awalnya takut akan kekerasan ingin membagi pengalamannya untuk bangkit terhadap sesama perempuan yang menjadi korban kekerasan dengan mendirikan komunitas KAKAP (Komunitas Anti Kekerasan Anak dan Perempuan) dan ditunjuk sebagai ketua. Sejauh yang dilakukannya untuk komunitas ini adalah memberikan support antar anggota yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, serta mengkampanyekan stop kekerasan pada anak dan perempuan untuk seluruh masyarakat luas terutama wilayah Bogor.
Tidak sampai disitu, pencapaian ibu Icha saat ini adalah sebagai bentuk semangat dirinya dan kepedulian terhadap masyarakat dengan menjadi ketua Yayasan Ibnu Sina Alzahrawi, Wakil Ketua Forum UMKM kecamatan Citereup, Wakil Ketua LK2S Dinas Sosial Kabupaten Bogor, Dewan Penasehat PDS Kecamatan Cijeruk, Dewan Penasehat CMD Kabupaten Bogor, Korcam & Bendahara Fokus Kecamatan Cijeruk, Ketua Isbat kecamatan Cijeruk
dan sebagai Penasehat Komunitas Pemuda Pecinta Lingkungan di wilayah kelurahan atau Desa Cipelang.
Keberanian RPS atau Ibu Icha yang lahir pada 17 Juli 1982 ini dengan mengungkapkan jati diri yang sebenarnya adalah, “Ingin mengedukasi terhadap masyarakat luas terutama para perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangganya untuk berani melawan dan jangan takut bicara. Menjadi korban kekerasan dari suami bukanlah aib, tapi harus diluruskan untuk menjadi benar. Dan sebagai perempuan saya juga berpesan bahwa anda berhak bahagia dan di hormati”.
Note :
Team redaksi sudah mendapatkan persetujuan Ibu RPS untuk menulis kisah ini, dengan tujuan ingin memberikan edukasi terhadap para perempuan yang masih takut bicara meski mendapkan perlakukan kasar dan tidak menyenangkan. Terimakasih. Sharing Is Caring #STOPKEKERASANPADAANAKDANPEREMPUAN #BERANILAWAN #BERANIBICARA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News