Womanindonesia.co.id – Dampak yang dimiliki kaum perempuan terhadap upaya kemerdekaan telah menjadi pusat perhatian. Tak puas rasanya jika kita tak menyebut deretan nama para Pahlawan perempuan yang berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari para penjajah.
Maka dari itu, simak 18 deretan pahlawan perempuan Indonesia yang perlu diketahui berikut ini.
18 Pahlawan Perempuan Indonesia
1. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien tentu sudah tak asing bagi anak-anak, sebab namanya paling sering muncul dalam buku sejarah yang ia pelajari. Pahlawan perempuan Indonesia asal Aceh ini bertekad sampai akhir hayatnya dalam melawan Belanda.
Hal ini lantaran kematian sang suami Ibrahim Lamnga pada 29 Juni 1878 dalam pertempuran dengan penjajah. Lalu di tahun 1880, Cut Nyak Dhien kembali menikah dengan Teuku Umar dan mereka bertempur bersama melawan Belanda.
Namun naas, 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dan membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Keberadaan perempuan kelahiran 1848 ini memberikan pengaruh kuat terhadap rakyat Aceh sehingga membuatnya diasingkan ke Sumedang dan meninggal di sana pada tanggal 6 November 1908.
2. Ruhana Kuddus
Ruhana Kuddus lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884. Ruhana berjuang melalui tulisan-tulisannya yang terbit di koran perempuan Poetri Hindia. Sampai akhirnya, pada 1912, ia mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912.
Tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatra Barat, seperti nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.
Selepas meninggalkan Soenting Melajoe, pengaruh Ruhana masih begitu kuat di dunia pers. Ketika pindah ke Medan pada 1920, Ruhana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak bersama jurnalis tersohor setempat, Pardede Harahap.
Kemudian, Ruhana memutuskan untuk pindah kembali ke tanah kelahirannya Sumatera Barat dan mengajar di sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittingi) sambil terus menulis.
3. Cut Meutia
Di samping Cut Nyak Dhien, adapula seorang pejuang wanita yang berjuang melawan Belanda bernama Cut Meutia. Cut Meutia lahir di Alue Kurieng, Aceh pada tahun 1870. Sejak kecil, Cut Meutia sudah diajarkan agama Islam oleh kedua orang tuanya.
Cut Meutia turun tangan langsung saat Perang Aceh. Pada tahun 1902, pasukan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di Simpang Ulim Blang Nie. Penyerangan secara mendadak itu membuat pasukan Belanda lumpuh total. Sebanyak 42 pucuk senjata dapat direbut oleh pasukan Cut Meutia.
Cut Meutia melanjutkan perang gerilyanya hingga beberapa tahun lamanya. Pada 24 Oktober 1910, pasukan Cut Meutia terlibat pertempuran dengan Belanda.
Namun, karena jumlah pasukan dan persenjataan yang tidak imbang, pasukan Cut Meutia pun terdesak. Pada hari itu, Cut Meutia gugur dalam usia 40 tahun. Cut Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 2 Mei 1964.
4. Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju adalah pahlawan perempuan yang lahir tahun 1880. Peran Opu Daeng Risaju dalam perlawanan terhadap tentara NICA di Belopa sangatlah besar. Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA. Tentara NICA adalah tentara dari penjajah Belanda.
5. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu, Pahlawan perempuan Indonesia asal Desa Abubu, Pulau Nusa Laut yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800. Saat itu, di usianya yang baru berusia 17 tahun, Martha sudah berani mengangkat senjata melawan penjajah Belanda.
Martha juga diketahui tak pernah absen dalam memberi semangat pada kaum perempuan untuk membantu laki-laki di medan pertempuran. Dibalik perjuangannya selama remaja, Martha harus ditinggal sang Papa yaitu Kapitan Paulus Tiahahu yang dijatuhi hukuman mati oleh Belanda.
Martha pun mulai mengalami kesehatan fisik dan mental, sampai akhirnya tertangkap bersama 39 orang lainnya dan dibawa ke Pulau Jawa dengan kapal Eversten untuk dipekerjakan paksa di perkebunan kopi.
Melemahnya kondisi Martha semakin memburuk selama di atas kapal. Hal ini diketahui lantaran dirinya yang tak ingin makan dan diobati. Sampai pada akhirnya di tanggal 2 Januari 1818, Martha menghembuskan napas terakhirnya dan disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
6. Laksamana Keumalahayati
Laksamana Keumalahayati adalah pahlawan perempuan Indonesia yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M.
Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585 – 1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
7. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang (1762-10 Agustus 1855) atau dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.
Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1762 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.
Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang.
Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah.
Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran. Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tanggal 10 Agustus 1855 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.
8. Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada permulaan abad ke-20 yang berjasa dalam usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia. Beliau lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872.
Oleh masyarakat Minahasa tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis. Maria adalah sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.
Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria disebut sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki”.
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
9. Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan atau yang bernama asli Siti Walidah adalah tokoh pergerakan emansipasi wanita. Siti Walidah adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Beliau lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1872. Ia menggagaskan pemikirannya mengenai pendidikan yang dikenal dengan konsep “catur pusat”.
Catur Pusat adalah formula pendidikan yang menyatukan empat komponen, yaitu: Pendidikan di lingkungan keluarga Pendidikan di dalam lingkungan sekolah Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat Pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah Gagasan ini kemudian dapat diwujudkan menjadi sebuah sekolah.
Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota dari Kesultanan Yogyakarta. Siti Walidah pun bertumbuh di lingkungan keluarga yang religius. Ia menempuh pendidikan belajar di rumah dalam berbagai aspek Islam, termasuk bahasa Ara dan al-Qur’an.
Setelah kematian Ahmad Dahlan pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan keaktifannya di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam ini.
Pada 1934, ia lanjut memimpin Aisyiyah. Semasa penjajahan Jepang, Aisyiyah dilarang bekerja dengan perempuan oleh Ordo Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. Ia bekerja di sekolah dan berjuang menjaga siswanya agar tidak dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Selama Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan mengelola dapur umum rumahnya untuk para tentara. Ia juga turut mempromosikan dinas militer kepada murid-muridnya.
Tidak berhenti di situ, Nyai Ahmad Dahlan turut serta berpartisipasi dalam diskusi tentang perang dengan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Akhir Hidup Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada 31 Mei 1946. Jenazahnya disemayamkan di Masjid Kauman di Yogyakarta.
10. Siti Manggopoh
Siti Menggopoh, namanya memang tak seharum RA Kartini, namun perjuangannya melawan Belanda cukup fenomenal semasa zaman penjajahan. Lahir di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Siti tak pernah mau takluk di tangan kolonial.
Perempuan yang akrab dipanggil Mande Siti ini diperkirakan lahir pada 1885, tetapi tak ada rujukan yang tepat mengenai tanggal kelahirannya. Alhasil, pemberontakan rakyat yang dimulai dari Kamang hingga akhirnya merambah ke Manggopoh, membuat Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang.
Mereka adalah Rasyid (suami Siti), Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.
Ia dijuluki “Singa Betina” dari Ranah Minang, betapa tidak ia tak pernah diam ketika daerahnya diperlakukan semena-mena oleh kolonial.
Setidaknya, tercatat dalam sejarah, kalau Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, titik inilah perjuangan dimulai. Pertarungan para pejuang dan Belanda pun terjadi dalam kegelapan. Siti membunuh puluhan tentara Belanda.
Sebelum meninggal dunia Siti sempat dipenjara oleh penjajah Belanda dan berpindah-pindah. Dan karena alasan anaknya masih kecil Siti pun dibebaskan. Mande Siti meninggal 20 Agustus 1965 dan dimakamkan di Makam Pejuang Manggopoh.
11. Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Wanita yang selalu meng gunakan kerudung ini tak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga untuk emansipasi wanita.
Rasuna mendapatkan pendidikan sedari kecil. Ia memang dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Selain pendidikan, ia juga tertarik dengan politik. Ia ingin agar wanita saat itu juga melek politik. Perjuangan politik dimulai Rasuna saat beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris. Kemudian, dia bergabung sebagai anggota di Persatuan Muslim Indonesia.
12. Raden Ajeng Kartini
Pahlawan perempuan Indonesia yang sangat dikenal adalah Raden Ajeng Kartini (RA Kartini). Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemdikbud, Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau RA Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 dalam keluarga bangsawan. Dia merupakan putri dari seorang Bupati Jepara kala itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dan MA Ngasirah.
Kartini besar di masa penjajahan, di mana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum ada. Kala itu, adat di lingkungannya juga tidak memberikan kesempatan kepada para wanita (khususnya wanita pribumi) untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Setelah masa pendidikannya selesai, Kartini sering membaca dan menulis surat kepada teman korespondensi Belandanya. Dia juga mulai mempelajari literatur Eropa dan publikasi tentang kemajuan pemikiran wanita Eropa sejak saat itu.
Tulisan-tulisan tersebut pun menyulut api baru dalam diri Kartini untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.
Dia juga sempat memohon pada Mr.J.H Abendanon untuk diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda. Akan tetapi, beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat yang pernah menikah 3 kali pada 12 November 1903.
Bahkan setelah menikah pun, Kartini tetap berjuang mewujudkan kesetaraan terhadap emansipasi perempuan dengan mendirikan sebuah sekolah untuk para perempuan. Tentu juga dengan dukungan dari suami Kartini Raden Adipati Joyodiningrat.
Pembangunan sekolah ini pun memiliki tujuan agar Kartini dapat mengajarkan kepada perempuan pribumi untuk mendapatkan pengetahuan.
13. Dewi Sartika
Meneruskan mimpi dan harapan RA Kartini, ada Dewi Sartika yang menjadi tokoh yang memperjuangkan pendidikan kaum perempuan. Tahun 1904, ia mendirikan sekolah bagi perempuan, berlokasi di Pendopo Kabupaten Bandung. Ia pun mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau. Karena jasanya Dewi Sartika dinobatkan sebagai pahlawan perempuan Indonesia.
14. Siti Manggopoh
Daftar pahlawan perempuan Indonesia selanjutnya adalah Siti Manggopoh. Ia adalah seorang pejuang perempuan dari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam. Ia pernah mengobarkan perlawanan terhadap kolonialis Belanda dalam perang yang dikenal sebagai Perang Belasting.
15. Fatmawati Soekarno
Fatmawati adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari presiden pertama Indonesia, Soekarno dan ibunda dari presiden kelima, Megawati Soekarnoputri.
Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Fatmawati Soekarno masuk dalam daftar pahlawan perempuan Indonesia.
16. Siti Hartinah
Raden Ayu Hj. Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan Ibu Tien Soeharto, adalah istri Presiden Indonesia kedua, Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto.
Siti Hartinah merupakan anak kedua pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Ia merupakan canggah Mangkunagara III dari garis ibu. Tien menikah dengan Soeharto pada tanggal 26 Desember 1947 di Surakarta.
Ibu Tien Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia tak lama setelah kematiannya. Ibu Tien masuk dalam daftar pahlawan perempuan Indonesia.
17. Ratu Nahrasiyah
Pahlawan perempuan Indonesia selanjutnya adalah Sultanah Nahrasyiyah. Ia adalah adalah seorang Sultanah / Ratu di Kesultanan Samudera Pasai. Ia merupakan puteri dari Sultan Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shahih, wafat pada 831 H/ 1428 M.
Dikenal juga dengan sebutan Putri Nahrisyah merupakan Ratu yang memerintah Kerajaan Samudera Pasai dalam rentang waktu (1406-1428 Masehi). Ia merupakan Sultanah perempuan pertama di Asia Tenggara memerintah dengan arif bijaksana dengan sifat keibuan serta kasih sayang.
Pada masa pemerintahan Sultanah Malikah Nahrasyiyah penyebaran agama Islam menjadi semakin pesat, Kesultanan Samudera Pasai sendiri mencapai puncak masa kejayaan pada masa pemerintahan beliau.
18. Sultanah Safiatuddin Syah
Sultanah Safiatuddin merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia yang paling terkenal dan termahsyur di kesultanan Aceh. Lahir pada tahun 1612 ia berhasil membawa kesultanan Aceh ke dalam masa keemasan lewat kebudayaan, literasi serta pendidikan.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin ia membawa kesultanan Aceh ke masa kejayaan, dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kebudayaan, penyebaran agama Islam, hingga perlawanan terhadap VOC gencar ia lakukan.
Ia juga membuat pasukan prajurit perempuan penjaga istana yang ikut serta bertempur dalam perang Malaka pada sekitar tahun 1639.
Di masanya juga, Sultanah Safiatuddin sangat tertarik dan mendukung kebudayaan dan literasi serta pendidikan. Ia me memberikan dukungan penuh pada para sastrawan dan kelompok intelektual untuk mengembangkan diri mereka.
Ia pun juga aktif membangun pesantren-pesantren untuk rakyat belajar mengaji. Sultanah Safiatuddin lebih mengedepankan jalur diplomasi ketimbang lewat militerisme. Kemampuan literasinya yang membuat ia fasih berdiplomasi dengan beberapa pihak dan berhasil menghalau ancaman-ancaman yang datang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News