Womanindonesia.co.id – Ini adalah kisah cinta yang tak biasa, cinta yang di luar kelaziman. Cinta memang seperti itu, bisa menjadi aneh bagi orang lain tetapi tidak bagi yang menjalaninya. Tetapi, pada hakikatnya cinta tetaplah sama, cinta adalah sebuah ikatan misterius di dalam hati yang selalu gagal untuk dijelaskan. Sang penyair sufi Jalaluddin Rumi pun berkata, “Apapun yang kau dengar dan katakan tentang cinta, itu semua hanyalah kulit. Sebab, inti dari cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan.”
Berawal dari kekaguman penggemar kepada idolanya lalu berlanjut pada keterikatan rasa, hingga akhirnya mereka pasrah dalam ketidakpastian yang sudah dianggapnya sebagai takdir. Ini bukan kisah cinta antara Al dan Andin dalam sinetron “Ikatan Cinta”, ini adalah kisah cinta yang lebih tua dari itu. Ini adalah kisah cinta antara Kahlil Gibran dan May Ziyadah.
May Ziyadah yang bernama lengkap Marie Elias Ziyadah, tokoh kunci dari Nahda di panggung sastra Arab pada awal abad 20 itu telah berhasil membuat logika Gibran “lumpuh” secara perlahan. Gibran jatuh cinta pada wanita yang tak pernah ditemuinya secara langsung. Gibran hanya bisa berkirim cinta melalui surat, berbincang tentang sastra dan rasa, dua kesamaan yang mereka miliki.
“Setiap hati mendamba hati lain, hati yang bisa diajak untuk bersama-sama mereguk madu kehidupan dan menikmati kedamaian sekaligus melupakan penderitaan hidup.” Itulah penggalan kalimat surat cinta dari sang penyair dan pelukis ternama kelahiran Lebanon 6 Januari 1883, Kahlil Gibran, untuk kekasihnya May Ziyadah. Sangat menggambarkan suasana kebatinan mereka saat itu, terjebak dalam ikatan cinta di antara rindu dan jarak.
Kahlil Gibran berada di New York (Amerika Serikat), May Ziyadah berada di Lebanon, jarak di antara dua negara itulah yang membuat mereka harus menjalani LDR (Long Distance Relationship). Entah jenis cinta seperti apa yang mereka miliki, mungkin cinta platonis, cinta yang tulus tanpa pamrih, cinta yang tidak harus terikat.
Platonis yang diambil dari nama filusuf ternama Plato ini berlawanan dengan cinta romantis, bahwa cinta harus memiliki untuk bisa menyalurkan hasratnya. Platonis mencintai bunga mawar dan membiarkannya tumbuh, romantis mencintai bunga mawar dan memetiknya untuk dinikamati keindahannya. Kurang lebih begitu analoginya.
Apakah di dalam kenyataan ada sepasang kekasih yang memiliki cinta platonis? Pertanyaan itu juga terlontar dalam dialog antara Plato dan para tamunya di sebuah acara untuk menghormati Dewa Eros, seperti yang termuat dalam karyanya, Simposium. Mungkin saja ada cinta seperti itu, seperti Gibran dan May Ziyadah yang bisa saling menyayangi dari kejauhan – ini hanya dugaan saja bukan kesimpulan.
Yang paling memungkinkan (bisa jadi ini yang terindah) adalah perpaduan antara cinta platonis dan cinta romantis, tulus mencintai dan saling memberi kepuasan lahir dan batin, saling bertanggung jawab satu sama lain. Selalu ada dalam pelukan walau sesekali berjarak untuk sebuah alasan. Tetapi ini adalah pilihan hidup bukan sebuah keharusan.
Yang pasti, semua kebersamaan akan berakhir. Apakah itu platonic relationship ataupun romantic relationship pasti berakhir. Begitu juga dengan Gibran dan May Ziyadah, setelah mereka dipisahkan oleh jarak, akhirnya dipisahkan oleh maut. Pada 10 April 1931, Gibran Sang Pujangga Cinta menghembuskan napas terakhirnya. May Ziyadah merasakan kehilangan yang mendalam, konon katanya hingga berusaha bunuh diri karena tak tahan ditinggal kekasih yang belum pernah ia temui itu. Mungkin di kehidupan berikutnya mereka bertemu.
Sepenggal surat cinta Gibran untuk May Ziyadah:
“…tidak mungkin Bintang Johar itu seperti aku juga: ia mempunyai Gibrannya sendiri – yang berada nun jauh di sana, tetapi sebenarnya amat dekat di hatinya. dan tidak mungkin pula Bintang Johar itu sedang menulis surat kepada Gibran-nya.
Saat ini juga, saat senjakala bergetar di ujung cakrawala, karena tahu bahwa gelap akan melulur senja, dan esok terang pun akan mengusir gelap; ia pun sadar bahwa malam akan menggantikan siang, siang pun besok menggantikan malam, silih berganti terus menerus, sampai kelak ia dapat bertemu dengan kekasihnya itu.
Saat ini keheningan ujung senja pun telah memeluknya, diikuti dengan kesunyian malam. Ditaruhnya penanya, lalu berlindung dari kegelapan di balik tameng sebuah nama: Gibran…”
Note : Tulisan ini ekslusif ditulis langsung oleh penulisnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News