KDRT melalui gadget dan media sosial merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga melalui penggunaan teknologi.
Womanindonesia.co.id – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” vide, pasal 1 ayat 1, undang-undang No. 23 tahun 2004.
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Nah, ternyata terdapat bentuk baru dari KDRT yakni pelaku kekerasan juga dapat menggunakan teknologi untuk memantau, mengancam, menindas, dan menyakiti korbannya.
KDRT Melalui Gadget
Pelaku mungkin memasang spyware pada ponsel korban, meniru identitas di media sosial untuk mempermalukan mereka, atau memberikan gadget kepada anak-anak yang dapat mengungkapkan lokasi mereka bahkan setelah anak-anak melarikan diri dengan orangtua yang dianiaya.
“Teknologi benar-benar telah menjadi bagian besar dari kehidupan semua orang,” kata pakar keamanan teknologi senior di Jaringan Nasional untuk Mengakhiri Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rachel Gibson.
Kebutuhan seorang pelaku untuk menggunakan kekuasaan dan kendali atas pasangannya terletak pada akar dari kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini berdasarkan dari hasil pengakuan korban KDRT yang mengungkap bahwa mengungkapkan, bahwa dia sudah lama menderita karena kekejaman suaminya. Ia sudah sering dipukuli. Pada musim semi lalu, sang suami menguncinya dan anak-anak di dalam rumah, serta memasang kamera di dekat pintu depan.
“Dia bisa mengontrol gerakan apa pun yang kami buat. Dia mengambil mobil, kartu kredit, dan ponsel saya. Bahkan kami diisolasi agar tidak bisa meminta bantuan,” terangnya.
Korban-korban lain juga melaporkan dipaksa memberikan kata sandi yang disalahgunakan karena mereka mendapatkan ancaman kekerasan fisik.
Seringkali penyalahgunaan teknologi dilakukan secara rahasia, membahayakan perangkat dan akun korban tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.
“Spyware atau stalkerware cenderung berjalan dengan senyap, jadi kemungkinan kita tidak tahu, bahwa spyware ada di perangkat gadget,” kata Gibson.
Pelaku kekerasan mungkin telah menyiapkan email atau rekening bank dan kata sandi untuk korban sehingga dia bisa terus masuk ke rekening tersebut, bahkan setelah hubungan berakhir.
“Suami saya tahu tanggal lahir saya, alamat email saya, sekolah menengah saya tempat saya bersekolah. Dia tahu banyak tentang saya,” kata seorang korban.
Terkadang, pelaku kekerasan membeli gadget korban dan membayar paket data ponsel, yang memungkinkannya melihat semua log panggilan dan pesan teks.
Setelah pelaku memiliki akses, dia bisa mendapatkan informasi tentang aktivitas korban atau memasang spyware yang mengontrol atau menguntit.
Penyalahgunaan teknologi memastikannya selalu selangkah lebih maju dari korban, yang sering kali mengatakan bahwa pelaku selalu dapat menemukan atau mengetahui hal-hal yang tidak diberitahukan oleh korban kepada mereka.
Korban atau meniru mereka pada akun palsu, dengan tujuan mengirim pesan untuk merusak hubungan korban di dunia maya.
Pelaku juga menggunakan gambar pribadi yang tidak pantas untuk melakukan intimidasi. Seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga mengatakan, pasangannya membagikan foto telanjang dia di media sosial.
Pelaku lain mengancam akan menggunakan media sosial untuk mengungkapkan status HIV-positif korban kepada anggota keluarga yang mengetahuinya. Pelaku kekerasan kerap memantau korban melalui anak-anak mereka atau mengumpulkan informasi dari media sosial anak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News