Toxic Masculinitas merujuk pada perilaku yang menggambarkan aspek negatif dari sifat maskulin yang terlalu dilebih-lebihkan.
Womanindonesia.co.id – Toxic Masculinity merupakan suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
Toxic masculinity menjadi sebuah istilah yang popular di kalangan masyarakat. Istilah ini merujuk pada perilaku yang menggambarkan aspek negatif dari sifat maskulin yang terlalu dilebih-lebihkan.
Pada dasarnya, maskulin merupakan sebuah karakteristik yang baik. Namun, hal ini menjadi toxic atau salah arah ketika pria dituntut harus memiliki dan menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma “laki-laki lemah”.
Padahal, seorang pria juga bisa saja memiliki sifat yang lembut atau gentle, ramah, atau sensitif, dan hal ini bukanlah hal yang salah pada pria.

Ciri-ciri toxic Masculinity
- Mengejek sesama cowok yang berpenampilan bersih dan rapi
- Menertawakan sesama cowok yang galau karena cinta
- Menghina sesama cowok yang menggunakan skincare atau makeup
- Menganggap dirinya harus dominan dalam segala hal jika kalah dari wanita berarti dia lemah
- Kalau aku menangis berarti aku bukan pria sejati
Dampak toxic masculinity
Toxic masculinity secara tak langsung berdampak negatif pada laki-laki itu sendiri. Seorang anak yang dibesarkan dalam kungkungan mindset sempit khas toxic masculinity merasa ia hanya dapat diterima masyarakat sekitar jika menunjukkan perilaku toxic berlabel maskulin.
Sebagai contoh, larangan laki-laki untuk menangis karena dianggap bukan pria sejati. Menunjukkan kesedihan adalah hal terlarang, karena menunjukkannya di tempat umum dianggap sebagai karakteristik feminin dan hanya wajar bila dilakukan oleh perempuan.
Padahal, menumpuk emosi rentan mengakibatkan seseorang mengalami depresi. Terlebih, laki-laki terbilang jarang mencari pertolongan ahli seperti psikolog atau psikiater. Sekali lagi, langkah seperti ini seolah terlarang dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menyelesaikan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Jika dibiarkan, lama kelamaan laki-laki tumbuh menjadi pribadi superior dan akhirnya tidak mau kalah dengan perempuan. Ketika memasuki bahtera rumah tangga, tak menutup kemungkinan laki-laki berani melakukan pelecehan sebagai bentuk power. Lebih buruknya lagi, perilaku maskulin beracun ini juga bisa memicu pelecehan seksual bahkan pemerkosaan.

Merujuk data lembaga non-profit Do Something, 85% dari korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi penyebab utama cedera pada perempuan. Lebih lanjut, toxic masculinity tak terkendali berefek seperti berikut:
- Bullying atau perundungan
- Kekerasan dalam rumah tangga terhadap pasangan dan anak
- Kekerasan seksual terhadap pasangan
- Penyalahgunaan obat-obatan terlarang
- Bunuh diri
- Trauma psikologis
- Kurangnya persahabatan yang tulus
Itulah penjelasan mengenai toxic masculinily. Semoga bermanfaat!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News