Womanindonesia.co.id – Chaos Walking merupakan salah satu film Holywood terbaik ditahun 2021 yang diperankan oleh Daisy Ridley, Tom Holland, Mads Mikkelsen, Demián Bichir, Cynthia Erivo, Nick Jonas, and David Oyelowo.
Salah satu tujuan film yang diangkat dari franchise novel adalah agar penontonnya tertarik untuk membaca bukunya lalu filmnya berlanjut jadi sekuel. Ini yang coba dilakukan oleh “Chaos Walking”, dan sebetulnya mereka memiliki amunisi yang bagus untuk itu. Paling keliatan dari jajaran cast-nya.
Film Chaos Walking dipadati oleh aktor bernama mulai dari karakter utama hingga karakter pendukung. Ada Tom Holland dan Daisy Ridley sebagai duet karakter utama.
Sinopsis Film Chaos Walking
Dalam film Chaos Walking bercerita tentang Perjalanan meninggalkan Bumi mencari planet yang lebih baik untuk ditinggali, bisanya berakhir dengan aksi perang antar-bintang bahkan antar-galaksi. Tapi kali ini muncul satu kisah soal bagaimana jika planet baru yang diharapkan menjadi tempat layak itu ternyata malah menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan.
Dunia Baru (New World) adalah planet yang sangat jauh dari Bumi, sehingga butuh 64 tahun perjalanan untuk tiba di sana. Kloter pertama yang tiba di New World, lantas membentuk satu komunitas yang diberi nama Prentisstown. Ini seturut nama wali kotanya, Davy Prentiss (Mads Mikkelsen).
Uniknya, semua penduduk Prentisstown adalah pria. Para perempuan konon dibunuh oleh penghuni asli New World yaitu makhluk menyerupai manusia yang dinamai Spackle.
Hal tidak biasa lainnya yaitu atmosfer New World membuat mereka bisa saling mendengar pikiran dan isi hati satu sama lain, yang terwujud melalui suara bahkan visualisasi. Mereka menyebutnya dengan ‘Noise’. Anehnya, Noise hanya termanifestasi pada pria saja, dan tidak pada wanita.
Dengan kata lain seseorang bisa dengan mudah mengetahui pemikiran para pria tanpa filter apa pun, tapi tidak ada yang bisa mengetahui pasti apa yang ada di benak para perempuan.
“Noise adalah pemikiran manusia yang tidak disaring, dan tanpa ada filter itu maka manusia adalah kekacauan yang bisa berjalan (chaos walking).” Kalimat ini menjadi kata pembuka dalam novel pertama dari trilogi karya Patrick Ness tersebut.
Sayangnya, dengan materi yang cukup mentereng ini Chaos Walking hasilnya tidak terlalu memuaskan. Chaos Walking dari awal sudah memiliki poin negatif yang jikalau sudah dijawab juga masih negatif karena ditampilkannya kurang greget.
Kembali ke dasar naratif, film memiliki apa yang biasa disebut eksposisi. Bagian di mana penonton diberikan pemaparan dulu sama situasi awal filmnya. Ini sangat krusial karena dengan pemaparan yang baik kita jadi ngeh dan hopefully menerima situasi yang ada.
Nah di sini terdapat sebuah premis yang menarik antara kemampuan pria dan perempuan. Sayangnya, karena kemampuan ini mencakup sesuatu yang luas, penonton perlu suatu arahan yang ngena banget sehingga kita bisa paham, “Oh karena ini cowok-cowoknya begitu dan karena ini cewek-ceweknya kayak gitu”. Sekali lagi, hal tersebut harus kena karena berhubungan dengan fondasi film itu sendiri.
Cuman ternyata hal ini tidak ditampilkan dengan baik. Hanya terdapat satu poin yang mengarahkan tentang eksposisi ini dan jelas itu saja belum cukup. Jika memang ini karena pengaruh dari planet tersebut, bisa dibilang ini semacam lazy writing karena ya udah semuanya diserahkan apa adanya saja.
Chemistry Tom dan Daisy
Sejumlah orang yang mereka temui kemudian terlibat. Siklus kemudian diulang dengan modifikasi beda ruang, waktu, dan karakter pendukung. Lama-lama, Chaos Walking terasa melelahkan. Problem film ini terletak pada penuturan dan karakter yang tak kunjung berkembang. Dengan sedikit modifikasi dan penajaman konflik utama, sebenarnya film ini bisa menjadi lebih “galak” dan menyeret penonton ke dunia baru yang penuh kejutan.
Chemistry Tom dan Daisy sebenarnya sudah pulen. Dimulai dengan jaga jarak, sempat saling curiga mengingat suara hati Todd terlalu ceriwis, lalu saling bergantung menghadapi situasi yang merumit. Beberapa kali ketegangan mencair berkat fantasi tokoh utama yang kebablasan dan sukses memantik tawa. Patut diingat, dalam genre film aksi berbasis fiksi ilmiah, taburan komedi, chemistry pemain, dan pindah-pindah tempat saja tak cukup.
Yang absen dari Chaos Walking adalah keseruan. Bak-bik-buk dalam genre semacam ini tidak perlu sering. Beberapa kali saja namun harus hadir di saat yang tepat agar penantian penonton terbayar lunas. Elemen ini absen.
Padahal unsur drama, pengorbanan, dan kehilangan dalam cerita Chaos Walking sudah lebih dari cukup untuk membuat tensi film ini bangkit. Secara keseluruhan, Chaos Walking lemah di aspek eksekusi. Terasa kurang klimaks.
Penghargaan Karya Fiksi
Seri lengkap buku ini (tiga novel dan tiga cerita pendek) telah memenangkan hampir semua penghargaan karya fiksi untuk anak-anak di Inggris. Pada 2008 saja, setidaknya karya tersebut menggondol Guardian Award, James Tiptree Jr. Award, dan Costa Children’s Book Award.
Para kritikus sastra memujinya karena mampu menggabungkan beragam tema mulai dari politik gender, penebusan dosa, makna perang, juga tipisnya batas antara kebaikan dan kejahatan yang tersaji dalam narasi yang kompleks.
Di atas kertas, nama-nama yang terlibat di film ini tampak menjanjikan. Holland dan Riley merupakan dua selebriti Inggris yang sedang naik daun lewat keterlibatan masing-masing di semesta Spider-Man dan Star Wars. Aktor Denmark, Mikkelsen baru saja mendapat banyak pujian dari aktingnya di Another Round (Thomas Vinterberg, 2020).
Belum lagi campur tangan sutradara Doug Liman yang sudah teruji menghasilkan film-film bermutu termasuk Edge of Tomorrow (2014) dan trilogi Bourne. Sayangnya budget US$100 juta (sekitar Rp1,5 triliun) dan taburan bintang gagal menghasilkan film berkualitas. Novelnya boleh saja mendapat banyak penghargaan.
Tapi tim penulis skenario kelabakan menggarapnya menjadi sebuah naskah film yang mumpuni. Faktanya, tujuh orang penulis skenario silih berganti mengubah naskahnya sebanyak belasan kali. Sejak mulai syuting di 2017, Studio Lionsgate memutuskan melakukan shooting ulang besar-besaran di 2019 silam.
Premisnya menarik tapi penceritaannya tidak kuat. Misalnya faktor apa yang membuat Davy Prentiss Jr. (Nick Jonas) bermusuhan dengan Todd masih tak jelas. Atau kenapa Aaron bersekongkol dalam satu kejahatan dengan Wali Kota Prentiss, termasuk alasan memburu Viola, pun tak kentara apa dasarnya.
Pada akhirnya, film ini tidak membekas banyak di benak penonton. Visualisasi Noise memang kreatif, tapi jalan ceritanya sangat mudah ditebak. Kompleksitas cerita aslinya telah tereduksi sebatas hiburan romansa remaja bersetting sci-fi seadanya dan pertempuran ala Wild Wild West yang kurang gereget.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News